Itulah istilah yang saya tahu, Kating kast. Istilah yang
ejaannya belum tentu benar, warisan dari Bahasa Belanda itu, adalah salah satu
perlengkapan sepeda-sepeda klasik. Kating kast adalah penutup rantai, saya
tidak tahu jaman sekarang dimana sepeda-sepeda sport tidak memiliki penutup
rantai, apakah istilah itu masih
dipakai.
Sepeda saya, sebuah sepeda lawas, Jengki, warna hijau,
merek Phoenix, buatan China. Semula sepeda itu milik tetangga, nganggur,
berkarat. Istri saya yang kemudian menawar dan kemudian mereka sepakat dengan
harga Rp.250 ribu. Selanjutnya, sepeda
saya bawa ke bengkel sepeda dan saya menemukan sepeda yang sama tipe dan
merknya. Dari keduanya saya ambil bagian mana yang masih baik dan akhirnya
dengan tambahan Rp.100 ribu saya dapatkan sepeda yang layak jalan.
Sekalipun sepeda itu sudah tua, namun setelah saya coba
gosok dengan KIT, cukup kinclong juga, kecuali bagian-bagian nyang sudah
terlanjur berkarat. Agar semua bagian yang bergerak bisa mulus, saya memakai pelumas
“organik”, yaitu jelantah sisa
penggorengan yang saya saring sebelum saya masukan ke kaleng pengoli. Lumayan
irit sambil memanfaatkan limbah dapur.
Nah, yang saya sampai saat ini hampir putus asa ialah
bagaimana menghilangkan bunyi dari Kating Kast. Sudah saya coba berbagai cara,
tapi bunyi itu tetap muncul saat rantai berputar dan menggesek Kating Kast.
Bunyi itu muncul saat jalan menanjak, karena saat itu rantai dikayuh, sedang
pada saat menurun, rantai tidak berputar, bunyi itu tidak muncul. Bunyi itu
dengan setia menemani saya saat menjelajah kampung, meniti pematang sawah, berkeliling
kandang-kandang sapi, atau bahkan melintas propinsi dari Tempel, Sleman Daerah
Istimewa Jogja ke Salam, Muntilan Jawa Tengah. Bapak-bapak yang sedang
menggendong cucu atau ibu-ibu yang berkerumun di tukang sayur keliling, semua
menoleh saat mendengar bunyi sepeda saya lewat. Apa boleh buat, semula saya
agak malu juga, tapi akhirnya saya menjadi sangat terbiasa. Srek ….. srek …….
srek ……. sepanjang jalan.
Tanpa saya sadari, rupanya ada hubungan bathin antara
saya dengan sepeda jengki hijau ini. Saya teringat sepeda semacam inilah sepeda
yang pertama kali saya miliki saat saya kelas 4 SR. Dengan sepeda itu juga saya pertama kali diajari
bersepeda oleh ayah saya di lapangan tanah. Saya ingat saat itu kaki saya belum
cukup panjang untuk mampu duduk diatas sadel, sehingga pantat saya geyal-geyol
mengayuh sepeda ke sekolah atau kemana saja saya bermain.
Almarhum ayah saya saat itu bukan pegawai negeri dengan
pangkat tinggi, sehingga tentu beliau dengan susah payah mengumpulkan uang guna
menyenangkan anaknya. Seingat saya, sejak kelas tiga saya sudah merengek minta
sepeda dan setelah lebih dari satu tahun Bapak baru bisa membelikannya. Maaf ya
pak. Bapak adalah seorang ayah yang baik dan sabar. Seingat saya, betapapun
nakalnya, saya belum pernah sekalipun kena marah Bapak. Padahal sejak SR sampai
SMP saya termasuk murid yang langganan di hukum, baik berdiri di muka kelas di
balik papan tulis, maupun di setrap berdiri di ruang guru, selama jam
istirahat.
Sayang saya tidak lama bersama Bapak, beliau dipanggil
oleh Nya saat saya masih remaja. Namun, kenangan yang singkat bersama Bapak itu
sampai saat ini tidak pernah hilang dari ingatan saya. Semoga Bapak diampuni
dosanya, diterima semua amalnya, dilapangkan kuburnya, di limpahkan aliran
pahala kepadanya dan dijauhkan dari siksa kubur dan api neraka. Semoga Bapak
mendapatkan surga dan Allah mengijinkan saya untuk kelak bertemu dan
bersama-sama lagi dalam kebahagiaan. Amin Ya Robbal Alamin.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar