Tread mill,atau mesin statis untuk olah raga lari di
rumah, menjadi kebutuhan pokok saya di desa. Saat saya masih tinggal di kota,
saya tidak pernah terpikir membeli mesin yang mahal ini. Lapangan olah raga
yang bagus banyak. Saya juga anggota klub Fitness di sebuah hotel berbintang di
dekat rumah. Bahkan jalan-jalan menyusuri
rak-rak penjualan di Hypermarket yang panjang, juga bisa menjadi arena jalan
cepat sambil sight-seeing.
Tread mill, atau mesin statis untuk olah raga lari di
rumah, menjadi kebutuhan pokok saya di desa. Saat saya masih tinggal di kota,
saya tidak pernah terpikir membeli mesin yang mahal ini. Lapangan olah raga
yang bagus banyak. Saya juga anggota klub Fitness di sebuah hotel berbintang di
dekat rumah. Bahkan jalan-jalan menyusuri
rak-rak penjualan di Hypermarket yang panjang, juga bisa menjadi arena jalan
cepat sambil sight-seeing.
Tapi di desa? Lapangan sepak bola memang ada, tapi nyaris
tak terawat. Memang saya dulu dengan sukarela menjadi “pemungut sampah” di
lapangan itu, tapi sejak lapangan dipakai acara keramaian desa, sampah
menumpuk, saya jadi malas. Begitulah, malah di desa, kami memutuskan untuk
membeli mesin mahal itu, itupun mencari type yang hampir termurah tapi masih
memenuhi syarat untuk kecepatan lari saya. Dengan mesin itu olah raga lari saya
menjadi terukur. Berapa km ditempuh, berapa km/jam kecepatan, berapa menit telah
dijalani serta berapa kalori yang telah dibakar selama berlari. Bagusnya saya
bisa lari kapan saya suka, pagi, siang, sore bahkan malam hari.
Penghalang utama bagi seorang pelari seperti semua maklum
adalah malas dan bosan. Melari dengan tread-mill adalah puncak kebosanan. Hanya
target-target yang saya sebutkan diatas yang bisa sedikit menjadi penawar
bosan. Pernah saya coba dengan melihat TV, tapi tidak nyaman juga. Sekali waktu
saya mencoba membaca buku sambil berlari, wah … pusing. Buku kemudian saya
lempar.
Seorang teman menasihatkan dengan berdzikir. Dzikir
sambil berlari memang selain ibadah, juga buat jaga-jaga, andaikata suatu saat
jantung berhenti berdetak, kita meninggal dalam keadaan menyebut asma Allah. Tapi
jari tangan kita rasanya sulit untuk menghitung dzikir sampai 500 kali dan
hampir tidak mungkin untuk menghitung sampai 1000. Memang buat apa kita
menghitung-hitung dzikir kita, apakah Tuhan juga menghitung nikmat yang diberikan
kepada kita? Tapi saya temukan bahwa seperti halnya target-target kecepatan,
yang akan kita tempuh selama berlari, mengapa juga tidak “memasang” target
dzikir?
Belakangan saya menemukan Sempoa (Abascus) bekas
kepunyaan anak saya saat masih belajar berhitung. Sempoa saya cantolkan di
tembok sebelah tread-mill. Saya kombinasikan setiap lima puluh masih oleh jari
tangan kita sendiri, kemudian setiap kelipatan 50 di bantu oleh Sempoa.
Ternyata berlari sambil berdzikir yang terukur, menjadi penawar rasa bosan yang
sangat efektif. Tidak terasa belasan menit, sampai setengah jam dengan cepat
berlalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar