Kamis, 23 Januari 2014

Kating Kast

Itulah istilah yang saya tahu, Kating kast. Istilah yang ejaannya belum tentu benar, warisan dari Bahasa Belanda itu, adalah salah satu perlengkapan sepeda-sepeda klasik. Kating kast adalah penutup rantai, saya tidak tahu jaman sekarang dimana sepeda-sepeda sport tidak memiliki penutup rantai, apakah  istilah itu masih dipakai.

Sepeda saya, sebuah sepeda lawas, Jengki, warna hijau, merek Phoenix, buatan China. Semula sepeda itu milik tetangga, nganggur, berkarat. Istri saya yang kemudian menawar dan kemudian mereka sepakat dengan harga Rp.250 ribu. Selanjutnya,  sepeda saya bawa ke bengkel sepeda dan saya menemukan sepeda yang sama tipe dan merknya. Dari keduanya saya ambil bagian mana yang masih baik dan akhirnya dengan tambahan Rp.100 ribu saya dapatkan sepeda yang layak jalan.

Sekalipun sepeda itu sudah tua, namun setelah saya coba gosok dengan KIT, cukup kinclong juga, kecuali bagian-bagian nyang sudah terlanjur berkarat. Agar semua bagian yang bergerak bisa mulus, saya memakai pelumas  “organik”, yaitu jelantah sisa penggorengan yang saya saring sebelum saya masukan ke kaleng pengoli. Lumayan irit sambil memanfaatkan limbah dapur.

Nah, yang saya sampai saat ini hampir putus asa ialah bagaimana menghilangkan bunyi dari Kating Kast. Sudah saya coba berbagai cara, tapi bunyi itu tetap muncul saat rantai berputar dan menggesek Kating Kast. Bunyi itu muncul saat jalan menanjak, karena saat itu rantai dikayuh, sedang pada saat menurun, rantai tidak berputar, bunyi itu tidak muncul. Bunyi itu dengan setia menemani saya saat menjelajah kampung, meniti pematang sawah, berkeliling kandang-kandang sapi, atau bahkan melintas propinsi dari Tempel, Sleman Daerah Istimewa Jogja ke Salam, Muntilan Jawa Tengah. Bapak-bapak yang sedang menggendong cucu atau ibu-ibu yang berkerumun di tukang sayur keliling, semua menoleh saat mendengar bunyi sepeda saya lewat. Apa boleh buat, semula saya agak malu juga, tapi akhirnya saya menjadi sangat terbiasa. Srek ….. srek ……. srek ……. sepanjang jalan.

Tanpa saya sadari, rupanya ada hubungan bathin antara saya dengan sepeda jengki hijau ini. Saya teringat sepeda semacam inilah sepeda yang pertama kali saya miliki saat saya kelas 4 SR.  Dengan sepeda itu juga saya pertama kali diajari bersepeda oleh ayah saya di lapangan tanah. Saya ingat saat itu kaki saya belum cukup panjang untuk mampu duduk diatas sadel, sehingga pantat saya geyal-geyol mengayuh sepeda ke sekolah atau kemana saja saya bermain.

Almarhum ayah saya saat itu bukan pegawai negeri dengan pangkat tinggi, sehingga tentu beliau dengan susah payah mengumpulkan uang guna menyenangkan anaknya. Seingat saya, sejak kelas tiga saya sudah merengek minta sepeda dan setelah lebih dari satu tahun Bapak baru bisa membelikannya. Maaf ya pak. Bapak adalah seorang ayah yang baik dan sabar. Seingat saya, betapapun nakalnya, saya belum pernah sekalipun kena marah Bapak. Padahal sejak SR sampai SMP saya termasuk murid yang langganan di hukum, baik berdiri di muka kelas di balik papan tulis, maupun di setrap berdiri di ruang guru, selama jam istirahat.

Sayang saya tidak lama bersama Bapak, beliau dipanggil oleh Nya saat saya masih remaja. Namun, kenangan yang singkat bersama Bapak itu sampai saat ini tidak pernah hilang dari ingatan saya. Semoga Bapak diampuni dosanya, diterima semua amalnya, dilapangkan kuburnya, di limpahkan aliran pahala kepadanya dan dijauhkan dari siksa kubur dan api neraka. Semoga Bapak mendapatkan surga dan Allah mengijinkan saya untuk kelak bertemu dan bersama-sama lagi dalam kebahagiaan. Amin Ya Robbal Alamin.


Salam.

Sabtu, 18 Januari 2014

Holistic Swimming

Sabtu pagi, akhirnya saya bisa juga mengatasi rasa malas untuk berangkat berolah raga.  Perlengkapan berenang telah disiapkan istri saya, sabun, shampoo, handuk, celana ganti dan kacamata renang. Semua dimasukan kedalam tas dan saya cantolkan di stang sepeda jengki tua, merk Phoenix, buatan China yang saya beli dari tetangga seharga 250 ribu rupiah.

“Ati-ati ya pak”, kata istri saya sambil membukakan pintu depan.
“In sya Allah”, jawab saya sambil bersiap mengayuh sepeda dan
“Assalamu’alaikum”, saya meluncur keluar
“Wa’alaikum salam”, jawab istri saya

Saya kemudian meluncur di jalan kampung  yang mulus. Masih sepi, anak-anak tentu sudah berangkat sekolah. Ibu-ibu masih menyapu halaman atau belanja di warung. Beberapa saat kemudian saya sudah berada di pinggir desa. Menyusuri jalan beraspal, sebelah kanan sungai kecil yang airnya cukup deras, membatasi jalan dengan kebun salak. Sebelah kiri kolam-kolam ikan dengan berbagai jenis ikan. Nila, mujaer, gurame dan ada pula kakap. Mereka berenang-renang kesana kemari membuat saya tersenyum iri.

Kemudian saya menyusuri jalan desa, kiri kanan hamparan sawah hijau, di seling kebun cabai, kacang panjang atau buncis. Beberapa minggu yang lalu lahan ini masih di tanami jagung dan tembakau, seolah bermain sulap, tiba-tiba sudah menjadi sawah. Di pinggir jalan, banyak rumpun pisang, pohon jati, nangka, kelapa atau semak rumput gajah yang subur. Ada kandang sapi jenis Ongole dan dua buah pedati di luarnya.

Setelah menempuh lebih kurang 1.5 km sampailah saya ke kolam renang kecil. Membeli tiket seharga Rp.3.500, harga ticket untuk bukan hari libur. Sobekan ticket saya cemplungkan ke kotak yang disediakan, sambil saya tuliskan nama dan nomor telepon. Sobekan yang lain saya simpan, siapa tahu pada undian bulanan saya bisa memperoleh hadiah, sepeda gunung, tv atau kompor gas.

Meregangkan badan sejenak, stretching pada semua pesendian badan, saya kemudian dengan celana renang mulai membasahi tubuh, mulai dari bagian kaki, betis terus keatas sampai rambut dan saya nyemplung ke air.

Saya tolakan tubuh saya kedepan menuju ke seberang sambil membaca, astaghfirullah, setiap tolakan tangan. Ya Allah, ampunilah dosa hambamu ini. Banyak dosa yang telah hamba lakukan. Ampunilah. Air gunung yang segar bersih dari obat-obatan meluncur keseluruh permukaan tubuh saya, setiap saya meluncur kedepan, semoga Allah mengampuni dan membersihkan tubuh saya dari dosa.

Sampai di tepi kolam segera saya berbalik, Subhanallah …. Setap semburan nafas keair, baik melalui hidung atau mulut saya ucapkan tasbih , Maha Suci Engkau ya Allah. Betapa tidak sempurnanya hambamu. Betapa banyaknya kekuranganku, ya Allah. Betapa agungnya engkau jauh dari kekurangan dan ketidak layakan. Saya lakukan terus sampai kembali ke tepi kolam.

Hari masih sepi. Hanya saya sendiri yang berenang di kola ini. Seolah kolam ini milik saya sendiri. Suasana yang sepi ini makin meningkatkan ke-khusuk-an saya berenang sambil memuji asma-Nya.

Sampai ke tepi, lagi saya berbalik sambil mengucapkan, Alhamdulillah…, segala puji bagimu ya Allah. Banyak sekali nikmat yang telah Kau limpahkan kepada hambamu ini …. tak terkira banyaknya. Tetap sayangilah hamba ya Allah. Setiap tolakan tangan saya bersyukur, sambil mengingat semua nikmat Allah, rasanya saya masih kurang membalas dengan ibadah kepada Mu. Alhamdulillah … hup …. Alhamdulillah …

Kembali sampai ke tepi, saya segera berbalik dan mengucapkan La illaha illa Allah… setiap tolakan saya berdoa, semoga sampai ajal menjemput nanti, tidak ada yang menggeser keyakinan saya bahwa Engkaulah dan hanya Engkaulah yang patut saya sembah. Kau ajarkan keyakinan ini sejak Kau ciptakan manusia pertama Adam dan semoga tetap diikuti umatMu sampai akhir zaman. Lindungilah hambamu ini dari dosa sirik, dosa terbesar. …. La illaha illa Allah ….

Tidak terasa, sampailah saya ke tepi kembali dan segera setelah berbalik saya ucapkan, Allahu Akbar. Setiap hentakan tangan dan kaki meluncur dari mulut saya ucapan Takbir, menyembur bersama semburan gelembung-gelembung nafas saya. Engkau Maha Besar, semua milik-Mu. Semua, mutlak milik-Mu. Bahkan tubuh yang sedang berolah-raga inipun, bila kau tetapka sakit, hamba tidak kuasa menolaknya. Ya, Allah Maha besar Engkau. Allahu Akbar

Sampai ke ujung tepi kolam, saya berarti telah berenang tidak berhenti lima kali bolak-balik. Saya tetap berbalik dan kembali saya ber-zikir dari awal … Astaghfirullah. Hitungan demi hitungan saya terus berenang, tasbih, tahmid, takbir …. Tak terasa 10 kali berenang bolak-balik, 20 kali, 30 kali dan 40 kali. Saya menyudahi dalam hitungan ke 42 kali, target pagi ini.

Sampai saya selesai berenang sekitar 40 menit, berarti saya sudah lebih dari 600 meter berenang non-stop. Lumayan lah untuk usia balak enam, memang tidak sebagus performa saya saat muda, top-topnya.

Saya naik ke permukaan. Kolam masih sepi. Belum ada perenang lain yang datang. Saya kemudian mandi membersihkan badan dari ujung rambut sampai telapak kaki. Badan bersih, tubuh segar dan hati-pun lapang. Semoga gerakan raga dan getaran hatiku, seirama selalu mengingat-Mu, ya Allah. Saya kembali mengayuh sepedah pulang. Jalan sekarang sedikit menanjak.


Selamat pagi. Wassalamu’alaikum.