Rabu, 04 Juni 2014

Sensasi Kali Krasak

Sungai yang menjadi batas propinsi Jogja dan Jawa Tengah ini seolah menjadi saksi abadi Gunung Merapi. Saat ini Kali Krasak sedang ramah. Airnya yang gemericik mengalir riang memberi kehidupan kepada ribuan orang disekelilingnya. Member rejeki kepada atusan penambang pasir maupun batu. Puluhan truck hilir mudik tiada henti , menggontorkan bahan yang bermutu tinggi ke geliatnya pembangunan di Jogja.

Kolam-kolam di sepanjang hilir dan anak sungai yang airnya masih bening, member nafas kehidupan kepada bermacam macam jenis ikan, tawes, mujair, kakap, nila dan gurameh yang sehat dan gemuk-gemuk berenang dengan riang. Anak-anak sungai dari Krasak tak kenal lelah mengairi sawah-sawah dan tegalan, menggemburkan dan menjadi sahabat para petani.

Berjalan dikesunyian pagi sepanjang sungai yang dangkal ini mengingatkan saya kepada para sahabat 4T jauh di Priangan. Ingin rasanya, bersama mereka berangkat dari Pasar Tempel di bawah Jembatan, turun kesungai, bermain air di dasar sungai yang berbatu berjalan di air, sambil sesekali meloncati tebing landai dan berakhir di Cek Dam Merapi. Perjalanan sekitar satu setengah jam ini ditutup dengan menaiki tebing yang lumayan terjal, masuk ke desa Lumbung Harjo dan berakhir di jalan Turi.


Tidak jauh dari ujung jembatan, sebelum belakang Pasar Tempel dan tentu saja banyak pilihan untuk sarapan. Ada soto Ayam atau Babat. Ada Bubur ala Bandung. Ada Mie Ayam. Dan tentu saja ada Brongkos Warung Ijo bu Padmo (sejak 1950) yang tersohor itu.

Sabtu, 31 Mei 2014

Buah Ceri

Lalu-lintas Jogja Magelang makin hari makin padat. Berulang kali jalan ini dilebarkan dan dipasang tanggul pemisah untuk mengurangi banyaknya kecelakaan yang makin meningkat sebagai imbas lalu lintas yang makin padat dan makin cepat.

DI sekitar kilometer lima belas, tepatnya setelah pabrik Garment, sebelah kiri jalan, dari arah Jogja, ada sebuah rest area yang sederhana namun tidak terlampau kecil. Satu dua Bus atau beberapa mobil bisa parkir dengan leluasa di lapangan tanah itu. Biasanya penumpang yang menuju Magelang, Semarang atau bahkan Jakarta, turun dari mobil untuk berbelanja Salak Pondoh yang dijajakan di sana.

 Para pedagang Salak Pondoh tersebut menempati beberapa bedeng dibawah naungan pohon-pohon Ceri atau Kersen yang rindang. Dibawah sinar matahari siang yang terkadang menyengat, tentu saja keteduhan dibawah pohon Ceri memberikan kenyamanan tersendiri bagi para pembeli Salak Pondoh tersebut.

Sesekali saya melewati tempat itu saat jalan pagi. Biasanya, para pedagang masih belum buka dasar, bedeng-bedeng masih pada kosong. Buah-buah Ceri yang merah ranum selalu menarik perhatian saya. Kadang-kadang buah itu cukup rendah untuk digayuh dan di petik. Bila saya sedang beruntung, kadang-kadang saya dapatkan satu dua buah yang merah, rasanya sangat manis. Kadang-kadang saya harus cukup puas dengan buah yang masih berwarna kecoklatan karena belum matang benar.

Kemarin pagi, saya melihat seorang Bapak tua yang naik diatas dahan pohon Ceri sambil membawa golok. Pak tua ini seolah dikirimkan Tuhan kepada saya untuk memangkas dahan-dahan pohon Ceri yang terlalu tinggi yang hampir menyentuh kabel listrik di bawahnya.


Dan diantara dahan dan dahan pohon Ceri yang berserakan di tanah, saya mendapatkan banyak sekali buah Ceri masak, baik yang masih melekat di ranting maupun yang sudah berjatuhan di tanah. Belum pernah seumur hidup saya makan buah Ceri sebanyak pagi itu. Betul-betul saya puas dan kenyang. Terima kasih ya Allah, Kau kirimkan sarapan pagi yang sehat dan sangat lezat. Alhamdulillah.

Jumat, 09 Mei 2014

Suroso

Entah berapa usia Suroso, tentu lebih dari delapan puluh tahun. Badannya tidak lagi sekuat masa muda yang trampil memanjat kelapa atau membantu tetangga bekerja di sawah. Setelah badannya tua dan ringkih, ia hanya membantu membelah kayu bakar, itupun ia lakukan sambil duduk.

Suroso dilahirkan tidak sempurna. Kecerdasannya tidak berkembang. Namun kekuatan ketrampilan fisiknya mengimbangi kekurangan mentalnya. Suroso tidak gila, namun IQ nya yang kurang normal. Ia baik dan menerima berapapun upah atas tenaganya. Ia hanya mengangkat kayu menakut-nakuti anak-anak kecil yang melemparinya batu.

Suroso pendiam. Tidak banyak bicara, saya malah belum pernah mendengar ia berbicara. Kandang, ia hanya berdiri saja di halaman rumah orang dengan pandangan yang kosong. Orangpun tahu dia lapar, orang pun memberi makan atau uang. Dan ia berbisik, matur nuwun dan pergi tanpa bicara.

Suroso mengenal uang hanya dari warnanya, hijau, merah, biru, namun ia tidak mengenal angka nominalnya. Ia hanya tahu bahwa kertas ini bisa ditukarkan makanan ke warung. Pikirannya tidak sampai kesana. Pemilik warunglah yang memberikan kembalian untuk penganan yang di tunjuknya.

Kadang-kadang saya melihat dia ikut sholat berjama’ah di mushola, sekalipun sholatnya tidak sempurna. Sering kali ia mendahului imam rukuk atau sujud. Tapi semua maklum, ya memang begitulah Suroso.

Suroso dulu bersaudara empat orang, tapi dua orang saudaranya sudah lama meninggal karena kecelakaan. Satu-satunya saudaranya tinggal di dusun tetangga, tapi hidup jauh dari cukup, Suroso bahkan yang sering memberinya uang.

Pak Sosial, yang juga Tanwir mushola berbaik hati menampung Suroso. Disediakannya sebuah kamar untuk tinggal Suroso dan itu sudah berjalan lebih sekitar lima puluh tahun. Untung ada pak Sosial, begitu orang kampung memanggilnya, kalau tidak Suroso tentu jadi gelandangan.

Sejak Jum’at yang lalu, Suroso tidak keluar seperti biasanya. Ia hanya terbaring saja di kamar. Sakit. Pak Sosial-lah yang mengurusnya semua keperluannya. Tubuhnya yang tua ringkih, sudah tidak mampu lagi menahan rohnya dan hari Minggu sore, Suroso meninggal….

Suroso diciptakan Allah tentu untuk suatu maksud. Allah pula-lah yang memanggilnya pulang. Tugas Suroso di dunia sudah selesai. Tentu Allah menciptakan Suroso bukan sekedar pemanjat kelapa atau buruh upah mencangkul sawah. Mungkin Suroso mengajari kita untuk bersyukur, sekalipun mungkin banyak kekurangan, tapi kita lebih beruntung dari Suroso. Kita masih memiliki kerabat, anak atau cucu. Suroso tidak.

Suroso warga kecil yang tersisihkan, tapi saat meninggal ia melebihi pejabat. Sejak malam, orang melayat berduyun-duyun. Halaman depan rumah pak Sosial sudah berdiri tenda yang lebar dengan ratusan kursi plastic. Tetangga-tetangga seakan berlomba menyumbang uang, beras bahkan ayam. Ibu-ibu dengan membawa pisau ikut “rewang” memasak di dapur bu Sosial.

Senin pagi jam 10:00 Suroso di makamkan di makam dusun, dengan iringan penduduk yang panjang. Sorenya, kami, seluruh penduduk kampung menerima kiriman berkat berisi nasi, ayam, sambel goreng kentang, kerupuk udang dan lauk lainnya. Sorenya masih ada lagi kiriman mentahan, beras, gula, bihun kering dan lainnya.

Sekali lagi, Suroso mengajarkan kepada saya, bahwa sekalipun orang kecil, dhuafa, Suroso meninggal dengan “mewah”. Semoga Allah mengampuni dosa Suroso, kalaupun ada, menerima semua amalnya yang berlimpah, melapangkan kuburnya,menjauhkan siksa kubur dan membuka pintu surga buat Suroso. Surga abadi, tempat yang sempurna, penghuninya kembali muda, ceria, cakap dan lengkap …


Plumbon Tempel, 5 Mei 2014.

Jumat, 14 Maret 2014

Otak Udang

Kadang-kadang saya kasian kepada Udang. Hal-hal yang buruk dari manusia selalu diserupakan kepada udang. Salah apa ya makhluk ini? Dosa apa, kok udang harus serupa dengan orang yang disebut bungkuk udang. Mengapa orang yang punya niat tidak lurus, kok disebut ada udang dibalik batu. Yang lebih parah, manusia bebal, disebut pula otak udang. Apakah memang tidak ada otak di kepala udang? Konon, otak seekor udang berada di punggungnya, wallahu alam.

Di atas meja makan saya ada sebuah akuarium kecil, hadiah dari anak saya. Aquarium itu buatan luar negeri dengan desain yang kompak dan sangat bagus. Bentuknya hampir seperti kubus. Kaca tepi-tepinya melengkung tanpa ada sambungan. Semua peralatan filter, pompa berada di bagian belakang, sehingga yang muncul dari belakang kotak aquarium tersebut hanya seutas kabel listrik baik untuk lampu LED yang terpasang diatas aquarium, maupun untuk mencatu arus listrik ke pompa airnya.

Selain tumbuhan hidup di dalam aquarium tersebut, saya juga memiliki empat ekor udang kecil. Tiga ekor udang berwarna merah dan seekor berwarna putih. Hidup juga beberapa ekor ikan kecil yang lincah. Udang-udang itu awet, sudah beberapa bulan bertahan hidup. Sedang ikan-ikannya justru sering hilang atau mati dan saya kadang-kadang harus menggantinya.

Makanan ikan dan udang itu adalah cacing kering, yang banyak di jual di toko ikan. Biasanya saya cuil-kan sedikit cacing kering dan saya letakan di permukaan air. Cacing itu akan mengambang di sekitar pusaran air dari mulut pompa. Pada daerah itu arus air lumayan besar, sehingga ikan-ikan itu hanya mampu sekejab menggigit umpan dan segera kembali kebalik air yang tenang. Dua-tiga kali makanan di sambar ikan, cacing kering itu akan buyar berserakan terdorong oleh arus air. Setelah cacing ambyar menjadi serpihan-serpihan kecil, barulah ikan-ikan itu dengan mudah menyantapnya.

Akan halnya dengan udang, mereka tidak segesit ikan. Udang tidak memiliki sirip yang kuat, alat berenangnya hanyalah kaki-kaki kecilnya yang lucu bersama-sama seirama mendayung kedepan. Udang tidak mampu melawan arus. Bila ia memasuki daerah yang berarus deras, langsung ia terseret arus tidak berdaya. Udang tidak mampu berenang cepat dan menyambar makanan.

Bila saat pakan tiba, udang-udang itu biasanya hinggap di ujung tanaman atau justru nongkrong di mulut keluar pompa air. Pada area itu arus air tidak besar. Dengan sabar mereka menunggu makanan yang lewat terseret arus liar. Manakala ada kesempatan, ia segera melompat, sengaja membiarkan tubuhnya terdorong arus dan …. Hup …. Dengan gesit tangan-tangannya mencengkram sebongkah makanan. Kemudian ia masih membiarkan dirinya terseret arus, sampai akhirnya hinggap di dedaunan dengan tetap mendekap makanannya. Barulah kemudian dengan santai udang-udang ini menikmati hasil tangkapannya.


Nah, sekalipun hewan ini lemah, lamban, namun siapa bilang udang tidak berotak?

Senin, 10 Maret 2014

Baracuda

Baracuda termasuk keluarga ikan yang buas, bahkan ada yang menyamakannya dengan piranha. Badannya yang panjang ramping serta giginya yang tajam mengcengkram, menjadikan ia sosok pemburu yang ditakuti di lautan. Ikan ini mampu berenang cepat dan berani menyerang ikan lain yang bahkan lebih besar dari tubuhnya. Baracuda bisa tumbuh besar sampai dua meter dan menjadi makin berbahaya. Para pengawas taman laut, biasanya mengusir Baracuda ini agar menjauh dari kawasan taman, supaya tidak mengganggu ikan-ikan lain penghuni taman maupun para perenang yang sedang menikmati keindahan taman laut.

Tapi, penguasa samudra ini, ternyata tidak berdaya di hadapan para pencinta sea-food. Dagingnya yang lembut dan tidak berduri menjadikannya menjadi santapan yang ramah, nyaman dan lezat. Pemancing yang beruntung mendapatkan ikan jenis ini, biasanya cukup memotong-motong dan menyimpannya di lemari es untuk menu beberapa hari. Para juru masak lokal di Manado, dimana banyak dijumpai ikan ini, menyarankan untuk di tim (kukus) agar kita tidak kehilangan dagingnya. Membakar daging Baracuda, tidak dianjurkan karena lemak ikan ini akan meleleh dan lenyap. Sayang.

Saya terkejut ketika mendapatkan menu Baracuda di restoran Shotimah di jalan Magelang. Medari Sleman.

 -          Ini fillet apa ikan utuh? Tanya saya kepada penjaganya.
-          Utuh pak
-          Lho, kan ikan-nya besar?, penasaran berdasarkan pengalaman mancing saya..
-          Ikannya kecil kok pak.

 Oke, saya harus mencobanya. Ditawarkan dua jenis masakan, saus lada hitam apa saus tiram? Saya memilih saus tiram, agar mendapatkan rasa pedas cabe dan bukan pedasnya lada. Setelah masakan dihidangkan …..Wah, tidak menyesal saya memilih menu ini, rasanya melebihi harapan. Kembali bisa saya masukan daftar restoran untuk menyuguhi makan siang atau makan malam tamu yang berkunjung.


Restoran Shotimah, terletak di kira-kira km 15, jalan Magelang. Di seberang RM Mbok Berek Medari, atau kalau dari arah Magelang sebelum SBPU Medari dan setelah toserba WS. Harganya untuk kantong pensiunan-pun, masih cukup bersahabat. Bon apetit.

Jumat, 28 Februari 2014

Longkangan

Rumah yang saya tempati di desa, berudara segar. Udara mengalir dari kebun yang lumayan luas di bagian belakang dan dari ke-tiga sisi yang lain yang tidak rapat dengan rumah tetangga. Lebih segar lagi, karena di bagian tengah ada longkangan (ruang terbuka) yang beratapkan langit. Pada longkangan tersebut, ada kolam ikan yang saya pelihara beberapa ekor ikan hias. Tumbuh pula sebatang pohon jeruk purut yang berbuah lebat dan tidak kenal musim.

Banyak kegiatan sehari-hari yang dilakukan di sekitar longkangan tersebut, selain makan di meja makan yang diletakan di dekat longkangan, juga setrika, masak dan berjemur. Pintu kamar mandi juga langsung berhadapan dengan longkangan, sehingga saya tempatkan sebuah tempat handuk untuk menjemur handuk yang basah di pinggir longkangan tersebut.

Tempat itu juga menjadi salah satu tempat favorit bila hujan tiba. Saya senang menikmati curahan hujan  di longkangan. Air mengucur deras dari ke-empat sisi longkangan. Longkangan itu menampung empat sisi genting dan talang yang sengaja di kucurkan ke dalam longkangan itu. Permukaan longkangan kami tutup dengan pecahan batu-batu gunung, sehingga air leluasa tersalurkan dan meresap ke dalam tanah. Nah, betapa beruntungnya kami dengan keberadaan longkangan itu. Longkangan itu menjadi salah satu kekayaan kami, karena tidak setiap rumah memilikinya.

Namun, longkangan itu juga ternyata menjadi salah satu sumber kesulitan kami pada saat dan setelah hujan abu Gunung Kelud beberapa waktu yang lalu. Dari langit abu langsung menyebar kemana-mana lewat longkangan tersebut. Dapur, meja makan, gudang bahkan kedalam rumah, tanpa dapat dicegah lagi. Usaha membersihkan debu di rumah kami, tentu saja menjadi lebih sulit dan perlu kerja lebih keras.

Bencana tidak cukup sampai disitu, saat hujan yang di tunggu-tunggu turun, ternyata longkangan juga membawa kerumitan tersendiri. Lumpur dari atap seolah di guyurkan dari genting ke dalam longkangan. Akibatnya longkangan tertutup lapisan lumpur yang tebal dan padat. Lapisan abu ini menghalangi jalannya resapan air ke tanah, sehingga air meluap dan banjir. Setiap hujan turun, banjir dan kami sibuk bersih-bersih. Masih beruntung air tidak masuk kedalam rumah yang terhalang oleh kontruksi pintu rumah kuno yang memiliki kusen di dasar pintu.

Tidak ada jalan lain, terpaksa longkangan dibongkar, batu-batu di keluarkan dan lapisan abu harus di keruk dan di buang ke kebun. Setiap butir debu yang melekat pada batu harus di bersihkan kembali dan satu-persatu batu disikat. Iseng-iseng saya hitung, jumlah batu yang kami sikat ada …… 1770.... luh ....



Sabtu, 22 Februari 2014

Alunan Musik Klasik di Sawah

Jalan Wates, Tempel Sleman adalah jalan propinsi yang terluar di wilayah Propinsi Jogjakarta. Rumah-rumah masih jarang. Sepanjang jalan sekitar 30 km, pemandangannya adalah hamparan sawah, kebun, sungai atau hutan jati. Tapi siapa sangka ada tempat kursus musik.

Pak M, adalah guru musik di SMP Negeri Sleman. Jari-jari tangannya baik kanan dan kiri, lincah mengetuk tuts piano. Bakat musiknya rupanya menurun ke putri sulungnya yang masih di bangku SMP, yang telah menyabet berbagai penghargaan atas permainan pianonya. Sama sekali tidak menyangka, dentingan lagu-lagu klasik muncul dari jari-jari tangan mungil gadis desa.

Rumah kecilnya yang sederhana terletak di jalan Wates yang sepi dengan bentangan sawah yang menghijau di sekitarnya, jauh di sebelah utara tampak sosok gunung Merapi yang nampak jelas tanpa penghalang. Disanalah, di saat senggang pak M membuka kursus gitar atau piano.  Aneh juga mendengar dentingan piano klasik di antara hamparan sawah. Berapa tariff kursusnya? Wah, jangan dibandingkan dengan ongkos sekolah musik Purwacaraka atau Achmad Danny.


Selain, mahir memainkan piano, pak M juga sangat piawai memetik gitar. Di tangannya gitar klasik, menjadi hidup ramai dengan dentingan merdu membuai telinga pendengarnya…..

Jumat, 14 Februari 2014

Desa Bangkit

Masih hari yang sama, Jum’at, 14 Pebruari 2014, saat sholat Jum’at, hujan abu sudah reda. Jama’ah ibadah Jum’at mbludag, karena karyawan maupun murid sekolah pada libur. Khotibpun memberikan khotbah dengan tema yang actual, cobaan Allah. Kita harus bersabar, nasehatnya.

Begitu usai sholat Ashar, tanpa ada komando, jalanan yang semula lengang, mendadak ramai. Penduduk turun ke jalan. Pompa air dan selang yang fungsinya untuk mengairi kebun salak berubah berfungsi untuk menggontor jalan. Jalan-jalan kembali bersih. Kegiatan kerja bakti ini seakan lomba antar RT, antar dukuh, masing-masing berusaha membersihkan jalan masing-masing sebersih-bersihnya. Anak muda, orang tua, tentara polisi, karyawan semua berbasah-basah sambil membawa sapu lidi, sekop atau karet pendorong lumpur. Beruntung sungai-sungai di desa saat ini airnya cukup banyak, sehingga tidak kekurangan air.



Ibu-ibu sibuk membersihkan teras dan halaman rumah masing-masing. Terkadang mereka membuat galengan kecil di jalan di muka rumah agar sebagian air yang di semprotkan di jalan masuk ke halaman. Mushola-mushola di bersihkan halaman dan terasnya. Bahkan ada pula yang mengepel bagian dalam mushola, sehingga sebelum Magrib, semua sudah bersih kembali.

Hujan Abu

Sudah lama sekali saya tidak mengalami hujan abu. Terakhir saya “menikmati” hujan abu dari Gunung Galunggung di Bandung. Tapi, bagi warga desa saya, di kaki gunung Merapi, hujan abu adalah hal yang tidak asing, sekalipun hujan abu kali ini, Jum’at tanggal 14 Pebruari 2014 dari Gunung Kelud, terbilang cukup besar.

Saya sadari hujan abu ini saat saya selesai sholat subuh, turun dari Mushola. Kok pemandangan di halaman memutih, tidak seperti biasanya. Ketika saya memandang ke langit, dengan bantuan sinar lampu neon mushola, kepyur…. saya melihat butiran-butiran debu halus, mata saya langsung klilipen (kemasukan debu).

Segera saya membangunkan istri dan anak-anak saya. Nah, mulai-lah kesibukan prosesi menyambut hujan abu dimulai. Pertama tentu saja, saya harus membersihkan mata saya. Saya dilarang keras mengucek-kucek mata, karena butiran debu volcanic mengandung silikat yang tajam dan bisa melukai lensa mata. Saya di minta membasuh mata dalam genangan air di telapak tangan. Kemudian saya harus mengamankan mobil saya dari goresan debu. Bagian yang tidak tertutup atap, harus saya bungkus plastik, seadanya. Jendela dan pintu harus tetap tertutup rapat. Pompa air dihidupkan agar tanki air selalu terjaga penuh.

Suasana yang sepi dan aneh. Jalan-jalan lengang dan putih. Genting dan dedaunan berwarna putih. Pelepah pisang pada patah. Kebun cabe, semaian sayuran, pelepah pohon salak menunduk keberatan menahan beban debu. Pohon-pohon rambutan yang saat itu sedang lebat-lebatnya berbuah, tidak tampak cantik ranum seperti biasanya, putih. Suasana sepi mencekam. Saya membayangkan mungkin bila manusia mendarat di salah satu planet diluar bumi, beginilah pemandangannya. Anak-anak sekolah di beritahu lewat sms yang berantai untuk tidak perlu datang ke sekolah, alias libur. Mereka tidak tampak senang karena libur, karena toch tidak bisa berbuat apa-apa di rumah.


Semua putih, sampai kolam ikan pun airnya keruh. Ikan-ikan megap-megap di permukaan kebingungan menghirup udara yang tidak segar. Beruntung, listrik tidak padam, sehingga penghuni rumah merubung televisi, yang ternyata sejak tengah malam telah memberitakan musibah ini.

Kamis, 23 Januari 2014

Kating Kast

Itulah istilah yang saya tahu, Kating kast. Istilah yang ejaannya belum tentu benar, warisan dari Bahasa Belanda itu, adalah salah satu perlengkapan sepeda-sepeda klasik. Kating kast adalah penutup rantai, saya tidak tahu jaman sekarang dimana sepeda-sepeda sport tidak memiliki penutup rantai, apakah  istilah itu masih dipakai.

Sepeda saya, sebuah sepeda lawas, Jengki, warna hijau, merek Phoenix, buatan China. Semula sepeda itu milik tetangga, nganggur, berkarat. Istri saya yang kemudian menawar dan kemudian mereka sepakat dengan harga Rp.250 ribu. Selanjutnya,  sepeda saya bawa ke bengkel sepeda dan saya menemukan sepeda yang sama tipe dan merknya. Dari keduanya saya ambil bagian mana yang masih baik dan akhirnya dengan tambahan Rp.100 ribu saya dapatkan sepeda yang layak jalan.

Sekalipun sepeda itu sudah tua, namun setelah saya coba gosok dengan KIT, cukup kinclong juga, kecuali bagian-bagian nyang sudah terlanjur berkarat. Agar semua bagian yang bergerak bisa mulus, saya memakai pelumas  “organik”, yaitu jelantah sisa penggorengan yang saya saring sebelum saya masukan ke kaleng pengoli. Lumayan irit sambil memanfaatkan limbah dapur.

Nah, yang saya sampai saat ini hampir putus asa ialah bagaimana menghilangkan bunyi dari Kating Kast. Sudah saya coba berbagai cara, tapi bunyi itu tetap muncul saat rantai berputar dan menggesek Kating Kast. Bunyi itu muncul saat jalan menanjak, karena saat itu rantai dikayuh, sedang pada saat menurun, rantai tidak berputar, bunyi itu tidak muncul. Bunyi itu dengan setia menemani saya saat menjelajah kampung, meniti pematang sawah, berkeliling kandang-kandang sapi, atau bahkan melintas propinsi dari Tempel, Sleman Daerah Istimewa Jogja ke Salam, Muntilan Jawa Tengah. Bapak-bapak yang sedang menggendong cucu atau ibu-ibu yang berkerumun di tukang sayur keliling, semua menoleh saat mendengar bunyi sepeda saya lewat. Apa boleh buat, semula saya agak malu juga, tapi akhirnya saya menjadi sangat terbiasa. Srek ….. srek ……. srek ……. sepanjang jalan.

Tanpa saya sadari, rupanya ada hubungan bathin antara saya dengan sepeda jengki hijau ini. Saya teringat sepeda semacam inilah sepeda yang pertama kali saya miliki saat saya kelas 4 SR.  Dengan sepeda itu juga saya pertama kali diajari bersepeda oleh ayah saya di lapangan tanah. Saya ingat saat itu kaki saya belum cukup panjang untuk mampu duduk diatas sadel, sehingga pantat saya geyal-geyol mengayuh sepeda ke sekolah atau kemana saja saya bermain.

Almarhum ayah saya saat itu bukan pegawai negeri dengan pangkat tinggi, sehingga tentu beliau dengan susah payah mengumpulkan uang guna menyenangkan anaknya. Seingat saya, sejak kelas tiga saya sudah merengek minta sepeda dan setelah lebih dari satu tahun Bapak baru bisa membelikannya. Maaf ya pak. Bapak adalah seorang ayah yang baik dan sabar. Seingat saya, betapapun nakalnya, saya belum pernah sekalipun kena marah Bapak. Padahal sejak SR sampai SMP saya termasuk murid yang langganan di hukum, baik berdiri di muka kelas di balik papan tulis, maupun di setrap berdiri di ruang guru, selama jam istirahat.

Sayang saya tidak lama bersama Bapak, beliau dipanggil oleh Nya saat saya masih remaja. Namun, kenangan yang singkat bersama Bapak itu sampai saat ini tidak pernah hilang dari ingatan saya. Semoga Bapak diampuni dosanya, diterima semua amalnya, dilapangkan kuburnya, di limpahkan aliran pahala kepadanya dan dijauhkan dari siksa kubur dan api neraka. Semoga Bapak mendapatkan surga dan Allah mengijinkan saya untuk kelak bertemu dan bersama-sama lagi dalam kebahagiaan. Amin Ya Robbal Alamin.


Salam.

Sabtu, 18 Januari 2014

Holistic Swimming

Sabtu pagi, akhirnya saya bisa juga mengatasi rasa malas untuk berangkat berolah raga.  Perlengkapan berenang telah disiapkan istri saya, sabun, shampoo, handuk, celana ganti dan kacamata renang. Semua dimasukan kedalam tas dan saya cantolkan di stang sepeda jengki tua, merk Phoenix, buatan China yang saya beli dari tetangga seharga 250 ribu rupiah.

“Ati-ati ya pak”, kata istri saya sambil membukakan pintu depan.
“In sya Allah”, jawab saya sambil bersiap mengayuh sepeda dan
“Assalamu’alaikum”, saya meluncur keluar
“Wa’alaikum salam”, jawab istri saya

Saya kemudian meluncur di jalan kampung  yang mulus. Masih sepi, anak-anak tentu sudah berangkat sekolah. Ibu-ibu masih menyapu halaman atau belanja di warung. Beberapa saat kemudian saya sudah berada di pinggir desa. Menyusuri jalan beraspal, sebelah kanan sungai kecil yang airnya cukup deras, membatasi jalan dengan kebun salak. Sebelah kiri kolam-kolam ikan dengan berbagai jenis ikan. Nila, mujaer, gurame dan ada pula kakap. Mereka berenang-renang kesana kemari membuat saya tersenyum iri.

Kemudian saya menyusuri jalan desa, kiri kanan hamparan sawah hijau, di seling kebun cabai, kacang panjang atau buncis. Beberapa minggu yang lalu lahan ini masih di tanami jagung dan tembakau, seolah bermain sulap, tiba-tiba sudah menjadi sawah. Di pinggir jalan, banyak rumpun pisang, pohon jati, nangka, kelapa atau semak rumput gajah yang subur. Ada kandang sapi jenis Ongole dan dua buah pedati di luarnya.

Setelah menempuh lebih kurang 1.5 km sampailah saya ke kolam renang kecil. Membeli tiket seharga Rp.3.500, harga ticket untuk bukan hari libur. Sobekan ticket saya cemplungkan ke kotak yang disediakan, sambil saya tuliskan nama dan nomor telepon. Sobekan yang lain saya simpan, siapa tahu pada undian bulanan saya bisa memperoleh hadiah, sepeda gunung, tv atau kompor gas.

Meregangkan badan sejenak, stretching pada semua pesendian badan, saya kemudian dengan celana renang mulai membasahi tubuh, mulai dari bagian kaki, betis terus keatas sampai rambut dan saya nyemplung ke air.

Saya tolakan tubuh saya kedepan menuju ke seberang sambil membaca, astaghfirullah, setiap tolakan tangan. Ya Allah, ampunilah dosa hambamu ini. Banyak dosa yang telah hamba lakukan. Ampunilah. Air gunung yang segar bersih dari obat-obatan meluncur keseluruh permukaan tubuh saya, setiap saya meluncur kedepan, semoga Allah mengampuni dan membersihkan tubuh saya dari dosa.

Sampai di tepi kolam segera saya berbalik, Subhanallah …. Setap semburan nafas keair, baik melalui hidung atau mulut saya ucapkan tasbih , Maha Suci Engkau ya Allah. Betapa tidak sempurnanya hambamu. Betapa banyaknya kekuranganku, ya Allah. Betapa agungnya engkau jauh dari kekurangan dan ketidak layakan. Saya lakukan terus sampai kembali ke tepi kolam.

Hari masih sepi. Hanya saya sendiri yang berenang di kola ini. Seolah kolam ini milik saya sendiri. Suasana yang sepi ini makin meningkatkan ke-khusuk-an saya berenang sambil memuji asma-Nya.

Sampai ke tepi, lagi saya berbalik sambil mengucapkan, Alhamdulillah…, segala puji bagimu ya Allah. Banyak sekali nikmat yang telah Kau limpahkan kepada hambamu ini …. tak terkira banyaknya. Tetap sayangilah hamba ya Allah. Setiap tolakan tangan saya bersyukur, sambil mengingat semua nikmat Allah, rasanya saya masih kurang membalas dengan ibadah kepada Mu. Alhamdulillah … hup …. Alhamdulillah …

Kembali sampai ke tepi, saya segera berbalik dan mengucapkan La illaha illa Allah… setiap tolakan saya berdoa, semoga sampai ajal menjemput nanti, tidak ada yang menggeser keyakinan saya bahwa Engkaulah dan hanya Engkaulah yang patut saya sembah. Kau ajarkan keyakinan ini sejak Kau ciptakan manusia pertama Adam dan semoga tetap diikuti umatMu sampai akhir zaman. Lindungilah hambamu ini dari dosa sirik, dosa terbesar. …. La illaha illa Allah ….

Tidak terasa, sampailah saya ke tepi kembali dan segera setelah berbalik saya ucapkan, Allahu Akbar. Setiap hentakan tangan dan kaki meluncur dari mulut saya ucapan Takbir, menyembur bersama semburan gelembung-gelembung nafas saya. Engkau Maha Besar, semua milik-Mu. Semua, mutlak milik-Mu. Bahkan tubuh yang sedang berolah-raga inipun, bila kau tetapka sakit, hamba tidak kuasa menolaknya. Ya, Allah Maha besar Engkau. Allahu Akbar

Sampai ke ujung tepi kolam, saya berarti telah berenang tidak berhenti lima kali bolak-balik. Saya tetap berbalik dan kembali saya ber-zikir dari awal … Astaghfirullah. Hitungan demi hitungan saya terus berenang, tasbih, tahmid, takbir …. Tak terasa 10 kali berenang bolak-balik, 20 kali, 30 kali dan 40 kali. Saya menyudahi dalam hitungan ke 42 kali, target pagi ini.

Sampai saya selesai berenang sekitar 40 menit, berarti saya sudah lebih dari 600 meter berenang non-stop. Lumayan lah untuk usia balak enam, memang tidak sebagus performa saya saat muda, top-topnya.

Saya naik ke permukaan. Kolam masih sepi. Belum ada perenang lain yang datang. Saya kemudian mandi membersihkan badan dari ujung rambut sampai telapak kaki. Badan bersih, tubuh segar dan hati-pun lapang. Semoga gerakan raga dan getaran hatiku, seirama selalu mengingat-Mu, ya Allah. Saya kembali mengayuh sepedah pulang. Jalan sekarang sedikit menanjak.


Selamat pagi. Wassalamu’alaikum.