Selasa, 25 Juni 2013

Kandang Sapi



Walau tidak tampak menyolok, ternyata banyak sapi dipelihara di desa. Sapi-sapi ini tentu membutuhkan kandang yang banyak. Setiap kandang masih memerlukan tempat penyimpanan jerami dan pakan. Karena alasan kesehatan, aturan desa melarang membangun kandang sapi di pemukiman penduduk, sehingga kandang-kandang ini biasanya ditempatkan dalam satu kompleks kandang di pinggiran padukuhan. Setiap desa memiliki beberapa padukuhan, sehingga sebuah desa bisa memiliki 6 sampai 8 kompleks kandang sesuai dengan jumlah dukuhnya. Setiap kompleks kandang, berisi tidak kurang dari 15 kandang, sehingga secara kasar bila 60% kandang terisi, jumlah sapi setiap desa bisa mencapai 60 sampai 70 ekor sapi. Memiliki komplek kandang juga menguntungkan, sewa kandang Rp.50.000,- per tahun.

Tidak sedikit yang mengais rezeki dari perputaran perdagangan sapi. Pemilik modal, bisa memutarkan modalnya sebagai alternatif dari memiliki sawah atau ladang. Harga tanah di desa sangat lamban bergerak dan tidak likuid. Menjual tanah atau sawah bisa berbulan-bulan, sedangkan sapi adalah asset yang sangat likuid, hari ini butuh uang, sore sudah ada pembeli yang datang. Pedagang atau blantik aktif keliling desa atau di pasar hewan saat hari pasaran. Blantik inilah yang menghidupkan perdagangan sapi, sekalipun kadang-kadang berlebihan mengambil untung tapi tanpa jasa mereka, sulit diharapkan perdagangan hewan yang hidup. Peternak yang tanpa modal-pun bisa mengambil untung dengan mendapat titipan hewan, pada saat panen (beranak) atau dijual, mereka mendapat bagian 50 hingga 60% dari keuntungan.

Sapi-sapi ini tidak dikembangkan secara alami, namun mereka di paksa dengan kawin suntik. Belum sampai dua tahun sudah dipaksa hamil. Sembilan bulan sudah memiliki anak sapi (pedet) dan dalam bilangan bulan sudah di sapih untuk dipaksa hamil lagi. Betul-betul hamil paksa. Biaya suntik paksa ini adalh Rp.35.000 per suntik dan tidak di jamin sekali suntik hamil.

Pakan? Wah, di desa pada musim hujan ini, sekalipun tidak memiliki ladang rumput gajah, tapi rumput tumbuh dimana-mana. Pematang, pinggir sungai, pinggir jalan, tepi kampung, dimana saja ada hijau nya rumput. Nyaris gratis.

Minggu, 23 Juni 2013

Lapangan

Ketika saya menemukan sebuah lapangan sepakbola di belakang kantor desa, saya merasa sangat senang. Rezeki besar. Sudah lama saya mencari tempat berlari pagi yang nyaman, jauh dari rumah penduduk, sepi dan tidak menarik perhatian.

Sewaktu tinggal di kota besar, jogging saya tidak pernah terputus. Di jalan-jalan, di lapangan atau di fitness center orang berlari adalah pemandangan yang sangat biasa. Bagi saya lari sudah menjadi kebutuhan, seperti halnya makan dan tidur, kalau tidak lari, badan malah menjadi lesu. Nah setelah tinggal di desa, saya kerepotan. Serba sungkan. Lari di jalan-jalan di desa sangat menarik perhatian dan tentu menjadi tontonan dan rerasan. Lari di pematang sawah, sesungguhnya segar dan menyenangkan, tapi juga tidak lazim, orang semua kerja di sawah, saya malah berlari seperti orang tidak waras yang kurang kerjaan.
 
Nah, lapangan bola yang saya temukan adalah solusi saya. Tiap pagi saya lari tanpa alas kaki, di lapangan rumput yang berlapis embun. Lapangan yang berbatasan dengan pagar kantor desa dan dikelilingi sawah ini memang tempat yang ideal untuk berlari. Saya bebas berlari tanpa menarik perhatian dan tanpa sungkan.

Lapangan itu semula memang agak kotor. Setiap pagi saya dengan berbekal plastic kresek, mengumpulkan kotoran. Setiap kotoran, plastik, bekas sobekan sepatu atau bola, botol, pembungkus permen, plester bahkan kondom saya pungut dengan telaten. Sepotong plastic kecilpun tidak luput dari mata saya, bersih. Setelah sekitar dua bulan lapangan tersebut betul-betul bersih dan membanggakan diri saya sendiri. Saya membeli dua buah beton buis besar untuk tempat sampah dan saya pasang spanduk, anjuran untuk menjaga kebersihan dan keindahan lapangan.

Sampai pada suatu saat saya membaca sebuah banner besar melintang di jalan masuk lapangan. Undangan untuk menghadiri sebuah acara yang menghadirkan pembicara kondang dari luar kota yang akan diadakan di lapangan. Sebuah panggung dan tenda telah disiapkan di sisi lapangan.

Wah? Bencana ! acara seperti ini tentu akan menyedot ribuan pengunjung baik dari desa sendiri maupun dari luar desa. Pedagang makanan dan minuman pasti akan tumplek-blek dan saya tidak bisa membayangkan betapa banyak sampahnya. Begitulah, apa yang saya khawatirkan ternyata terjadi juga. Sampah luar biasa banyaknya, jauh lebih kotor dari yang awal saya temukan. Lapangan seolah menjadi tempat sampah. Banner yang saya pasang menjadi seolah sindiran, beberapa hari kemudian malah ada orang yang mencoret banner saya dengan cat pilok hitam.

Saya betul-betul patah arang dan saya putuskan untuk membeli sebuah tread-mill. Barang yang di kota besar tidak saya butuhkan, di desa menjadi kebutuhan utama saya. Sekarang saya berlari di rumah saja.

Minggu, 16 Juni 2013

Kelapa



Pagi masih gelap saat sayup-sayup terdengar bulik Sepuh, tetangga menyapu halaman mushola. Suaranya srek-srek lembut seolah alunan musik lazuardi berseling dengan satu dua kokok ayam yang mulai terdengar. Wah sudah pagi lagi, benar saja tidak berapa lama kemudian azan subuh berkumandang, mengajak warga untuk mulai membuka hari dengan ber-ibadah. 

Saya tidak bisa membayangkan andaikata pohon Kelapa tidak diciptakan Tuhan, repot sekali bulik Sepuh menyapu halaman. Di tempat kami, sapu lidi adalah gratis. Hampir setiap halaman memiliki pohon kelapa. Jalan-jalan desa teduh dinaungi pohon yang tajuk daunnya bak payung raksasa.

Tapi fungsi kelapa bukan hanya payung atau sapu, kelapa adalah tanaman yang teramat penting di desa.
Kelapa adalah sumber rasa gurih dari hampir semua masakan di desa. Dan Gurih berarti lezat. Sebagian besar jajan pasar di desa mengandung kelapa. Sulit mencari kue lezat yang tidak mengandung kelapa. Bahkan blondo (sisa ampas kelapa) masih juga lezat disantap dengan nasi panas.

Hampir semua bagian dari pohon kelapa bermanfaat. Pelepah dan daun Kelapa kering adalah kayu bakar yang terbaik, karena seratnya korosif dan mengandung minyak sekaligus oksigen, dua zat yang menyebabkan sangat mudah terbakar. Daunnya bisa juga dipakai sebagai atap kandang sapi atau dangau di sawah.

Setiap panen, satu pohon kepala pada usia produktif bisa menghasilkan lebih dari 40 butir kelapa dan tentu saja bernilai lebih dari lumayan untuk menambah dompet belanja. Bila kelapa sudah tidak lagi berproduksi, pokok kayunya pun bernilai sangat tinggi. Blandar, rusuk bahkan tiang rumahpun bisa memakai pokok kelapa. Penggergajian kayu kelapa ada di hampir setiap desa, bahan baku kelapa tidak ada habisnya. Setiap pohon tua ditebang, banyak tunas baru yang siap menggantikan.

Kelapa memang multi guna, juga bisa untuk melatih konsentrasi pikiran, cobalah sebutkan enam kali saja dengan cepat diluar kepala
tanpa salah: "KEPALA DIGARUK KELAPA DIPARUT" dan lihat hasilnya ....

Cangkul Tua



Cangkul adalah peralatan pokok bagi petani. Cangkul itu mungkin serupa gitar bagi pemusik. Kalau sudah cocok, enggan diganti. Pak Tani sepuh ini, sedang mengaso di tembok jembatan sungai kecil, sambil mengawasi sawahnya yang hampir panen. Cangkul tua kesayangannya tampak sudah dicuci bersih menemani dengan setia. Ujungnya sudah boncal-boncel, seperti gigi orang tua. Sisi tajamnya sudah miring, bagian dalam, karena yang menyentuh tanah terlebih dahulu, sudah lebih pendek dari sisi  luarnya.

Doran pacul terbuat dari batang kelapa tua berwarna hitam, tampak masih kuat dan liat. Mengkilat, karena hampir setiap hari di genggam oleh tangan trampil selama puluhan tahun. Batangnya ramping, tidak seperti doran jaman sekarang yang besar terbuat dari kayu mahoni atau kayu nangka yang berat.

Ketika saya tanyakan,
"Kok nggak diganti mbah, sudag gripis gini?",
dia tidak menjawab, tapi sambil tersenyum ditunjuknya cap pembuatnya di pangkal cangkul. Saya perhatikan ada lekuk tulisan pabriknya, mungkin saat ini sudah tidak lagi berproduksi diserbu cangkul import dari China. Pak

Nampaknya semua cangkul hampir sama, padahal setiap daerah memiliki perbedaan. Terutama bila kita melihat kemiringan dari cangkul-cangkul yang dipakai oleh petani di wilayah itu. Cangkul yang masih hampir siku, menandakan ketebalan tanah yang lebih dalam yang diolah oleh cangkul itu. Lapisan tanah subur di daerah itu pasti lebih tebal. Sedangkan cangkul yang kemiringan dengan tangkai dorannya lebih kecil, menandakan bahwa lapisan tanah subur yang di olah tidak seberapa dalam lagi. Nah, tentu kita lebih senang memiliki tanah yang lebih subur.

Berapalah harga sebatang cangkul, toch pak Tani Tua ini enggan menggantinya. Ia begitu bangga dan sayang dengan cangkulnya, seperti pemburu yang sangat menyayangi bedilnya.


Sabtu, 15 Juni 2013

Buntil

Bermula dari rasa penasaran, mengapa saya selalu mendapatkan buntil yang daun pembungkusnya jauh lebih tebal dari isinya. Isi parutan kelapa yang lezat itu hanya secuil kecil. Kemudian saya membaca dari buku masak, resep membikin buntil. Bahan-bahannya ternyata ada di sekitar rumah.

Kelapa yang tidak tua, saya mendapat sumbangan dari mBah Udi, tetangga sebelah. Sedangkan daun talas sesungguhnya tumbuh lebat di kebun di belakang rumah, namun menurut petunjuk kita harus menggunakan daun talas yang tumbuh di sawah. Mengapa? Karena daun talas yang terjemur matahari sepanjang hari akan lenyap zat sumber gatalnya.

Nah, acara jalan pagi saya kali ini adalah menyusur pematang sawah. Ternyata tidak sulit untuk mendapatkan daun talas di sawah. Daun itu tumbuh liar di sepanjang selokan-selokan kecil di sawah, bahkan juga sepanjang pinggiran jalan desa di pinggir sawah.

Proses menggarap buntil ternyata tidak sesulit yang saya perkirakan. Memasak buntil melalui dua tahap. Tahap pertama adalah mengukus buntilnya dan tahap kedua memasak dalam rendaman kuahnya. Sekedar tip, daun buntil harus dijemur terlebih dahulu agar tidak terlalu kaku dan sebaiknya ketebalan bungkusnya harus cukup kuat, karena isi parutan kelapa akan sedikit mengembang saat dikukus. Lapisan daun talas yang terlalu tipis akan sobek didesak oleh parutan kelapa. Dalam buku resep disarankan beberapa buntil yang siap kukus, dibungkus kembali dalam daun pisang.

Yang saya masih belum mengerti bagaimana cara mencuci daun talas? Diguyur air sebanyak-banyaknyapun akan licin tak berbekas.

Pedati

Saya tidak tahu, apakah kendaraan desa semacam ini masih boleh disebut pedati? Kuda atau sapi tidak lagi menarik beban, melainkan sepeda motor. Cukup ujungnya di kaitkan ke bagian belakang sepeda motor dan meluncurlah pedati ini di jalan-jalan desa.

Sebagai pengangkut hasil pertanian, rumput pakan ternak, bibit atau pupuk, pedati ini memang sangat praktis dan menjadi sahabat pak Tani.

Tentu saja pak Tani tidak berani menarik pedatinya di jalan raya, bisa-bisa berurusan dengan pak Polisi, tapi di jalanan desa, kendaraan yang tidak pernah di "kir" ini bebas bersliweran.

Tentu saja prasyarat utama adalah kondisi jalan. Untungnya jalanan di desa saya mulus dan datar. Kantor PU rajin memelihara jalan, setiap lubang segera di tambal dan mereka membangun pilar-pilar jembatan yang tinggi guna memelihara permukaan jalan yang rata tidak naik turun mengikuti kontur tanah di lokasi.

Pedati-pedati itu harus berterima kasih kepada jalan-jalan yang mulus, rata dan nyaman untuk dilewati.

Jumat, 14 Juni 2013

Angguk dan Sapa

Perbedaan yang menyolok antara kehidupan desa dan kota adalah keramahan penduduknya. Berjalan di desa mengangguk menjadi sebuah prosesi yang wajib. Kepada siapapun, kenal atau tidak kenal, petani yang berjalan ke sawah, ibu-ibu yang sedang menyapu di halaman, bapak-bapak yang merokok di teras, kepada pengemudi sepeda-motor yang melintas. Bahkan saya pernah disapa murid-murid sekolah yang menyalip dari belakang.

Tidak jarang, setelah mengangguk, dilanjutkan dengan sapa, "Tindak pundi?", mau kemana?
Sapaan itu adalah sapaan pembuka. Bila kita tetap melayani keramahan mereka, bisa dipastikan akan terjadi pembicaan lanjutan yang bisa berlangsung beberapa waktu.

- "Pergi kemana mBah?"
+ "Ngarit, mas"
- "Lembunya berapa mBah?"
+ "Dua, mas... dst."

Dunia seakan berputar lebih lambat di desa. Semua tidak perlu tergesa-gesa, masih sempat berhenti sejenak dan bertutur kata. Mereka tentu menanyakan di mana rumahnya dan karena mereka hapal seluruh penghuni desa, maka pertanyaan akan terus mendetail. Sebelah mana? Dengan rumah pak Polan? Bukan keinginan tahun yang meluap, namun merasa bersalah kalau mereka tidak mengenal sesama penduduk desa.

Tidak sulit mencari teman di desa ..



Pepes

Di desa banyak sungai kecil yang airnya tidak henti mengalir, sekalipun di musim kemarau. Banyak orang berternak kolam ikan bahkan juga di pekarangan rumah. Jenis ikan yang mereka pelihara juga beragam, mulai nila, lele atau gurame. Hanya ikan mas yang jarang saya jumpai.

Melihat ikan yang gemuk-gemuk ini saya ingat salah satu kegemaran saya saat saya masih tinggal di Bandung, yakni pepes ikan mas. Apa boleh buat, ikan mas tidak saya temukan, saya mencoba membuat pepes ikan nila. Siapa tahu pepes buatan saya lezat dan bisa dikomersialkan.

Konon pepes yang lezat harus diolah secara alami dan di kukus dengen kayu bakar dan bukan dengan api dari gas Elpiji. Kebetulan di rumah saya dan di seluruh desa kayu bakar berlimpah. Kayu bakar ini berasal dari tebangan pohon, sisa penggergajian kayu, pelepah kelapa maupun bambu sisa bangunan rumah. Banyak kayu bakar yang bertumpuk di pekarangan, tidak dimanfaatkan karena jaman sekarang orang dengan mudah memasak menggunakan kompor gas.

Saya mencoba menggunakan kuali dari tanah liat dan kukusan bambu, agar betul-betul aroma pepes saya tidak mengandung aluminium atau logam lainnya. Resep pepes saya dapatkan dari browsing di Internet. Bumbu-bumbu pepes tersedia di pasar desa dengan harga yang tidak terlalu mahal. Begitulah, saya mengadakan percobaan, dari awal-awal hampir 10 jam, sampai kemudian hanya 6 jam. Saya juga mencoba membuat pepes dari ikan mas yang hanya bisa saya peroleh dari Super Market di kota, karena di desa tidak saya temukan.

Saat saya menengok cucu di Jakarta, saya membawa beberapa bungkus pepes ikan nila yang saya bagikan ke famili-famili di Jakarta. Mereka memuji kelezatan pepes buatan saya dan hati saya berbunga-bunga, nah bisa nich menjadi produsen pepes. Namun, ketika saya kembali ke desa, singgah di sebuah warung dekat perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, saya memesan pepes. Wah, pepes di warung itu lebih kering, mempur dan jauh lebih lezat.

Niat menjadi juragan pepes terpaksa saya tunda dahulu, sebelum menemukan resep dan methode yang jitu. Tapi pengalaman memilih ikan, mbeteti (membersihkan dan mengeluarkan isi perut) ikan, memasak dengan kayu bakar dan kuali menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan.

Sawah

Saya tidak mampu membayangkan bila makanan pokok kita ini bukan nasi. Umpama makanan kita ubi atau gandum, maka landscape desa saya tentu berbeda, sawah pasti tidak secantik seperti saat ini.

Tumbuhan padi membutuhkan air. Sehingga menanam padi mengharuskan petani membuat sawah, dimana air dialirkan pada jumlah tertentu dan pada masa tertentu tidak lebih dan tidak kurang. Sawah memerlukan pematang, untuk menahan air dan yang kita patut bersyukur, air itu permukaannya datar. Sehingga sawah selalu datar. Manakala kontur tanahnya berbukit, maka orang membuat sawah bertingkat-tingkat dan selalu datar. Pemandangan makin cantik lagi. Itulah sebabnya negeri kita beruntung, memiliki banyak sawah yang datar. Pada saat padi tumbuh, sejauh mata memandang hamparan permadani hijau menyejukan mata kita.

Sawah berbeda dengan ladang. Sawah memerlukan pengolahan yang lebih berat. Sebelum ditanam tanah di sawah perlu di lembutkan dahulu menyerupai bubur, agar akar benih padi yang sangat lembut mampu mencengkeram. Pekerjaan membajak itu berat, sering kali perlu bantuan sapi atau saat ini traktor. Saat padi mulai remaja, perlu disiangi agar tidak berebut makanan dengan rumput. Saat bulir padi mulai menyembul, pekerjaan makin berat lagi, selain air tidak boleh berhenti, juga perlu dijaga agar penjarah seperti burung atau tikus tidak meraja-lela. Saat panen, pengolahan bulir padi sampai menjadi beras, perlu lagi kerja keras. Pekerjaan pak Tani kayaknya tak ada henti-hentinya.

Kadang-kadang saat saya berdiri di pematang, mencoba merenungkan sudah berapa ribu kali padi ditanam di sawah yang sedang saya injak ini. Mungkin usia sawah ini sudah lebih dari seribu tahun dan selalu, terus menerus menghasilkan padi dan nasi. Tidak pernah berhenti. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya berterima kasih kepada leluhur kita yang telah menemukan padi.

Menggembala Itik

Itik atau bebek setahu saya adalah satu-satunya unggas yang bisa di gembala. Saya belum pernah melihat orang menggembala angsa atau ayam. Pemandangan gembala dan itiknya adalah pemandangan sehari-hari di desa. Percaya atau tidak jumlah itik yang di gembalakan bisa berjumlah seratus lebih. Kok bisa ya?

Pernah mobil yang saya tumpangi berhenti, memberi kesempatan kepada bebek-bebek ini menyeberang. Rombongan bebek ini panjang sekali menyeberang aspal yang masih sejuk dengan irama barisan yang teratur. Yang kasihan saya melihat bebek muda yang terpaksa berlari terpuntal-puntal mengikuti kakak-kakaknya yang lebih dewasa. Lucu banget.

Bebek makannya banyak dan beragam. Mereka menyukai makanan yang anyir dan berair. Peternak yang memelihara bebek di kandang, memerlukan pakan yang banyak agar lebih produktif. Nah, dengan menggembalakan ke luar peternak bisa lebih irit. Biarkan mereka menyerbu sawah yang habis panen. Selain memakan sisa bulir padi, mereka juga banyak menemukan hewan-hewan kecil lain yang sangat bermanfaat bagi tubuh mereka.Bebek yang sering diajak jalan-jalan keluar juga menjadi lebih gesit dan tahan stress. Bebek yang tidak pernah jalan-jalan biasanya mudah kaget dan mendadak sakit atau bahkan mati.

Bebek adalah unggas yang istimewa. Berbeda dengan ayam, bebek lebih rukun akur dan guyub. Sekelompok ayam akan saling bertarung dan saling berebut makan. Ayam yang kuat cenderung menindas bahkan menyakiti ayam yang lebih lemah. Bebek tidak demikian mereka saling menyayangi dan berbagi makanan. Konon ada yang percaya bahwa daging bebek lebih dingin dan membawa kedamaian bagi tubuh yang memakannya, sedangkan daging ayam, sesuai dengan perangainya menjadikan mudah marah dan berangasan. Benar tidaknya, Wallahu Alam..