Minggu, 16 Juni 2013

Cangkul Tua



Cangkul adalah peralatan pokok bagi petani. Cangkul itu mungkin serupa gitar bagi pemusik. Kalau sudah cocok, enggan diganti. Pak Tani sepuh ini, sedang mengaso di tembok jembatan sungai kecil, sambil mengawasi sawahnya yang hampir panen. Cangkul tua kesayangannya tampak sudah dicuci bersih menemani dengan setia. Ujungnya sudah boncal-boncel, seperti gigi orang tua. Sisi tajamnya sudah miring, bagian dalam, karena yang menyentuh tanah terlebih dahulu, sudah lebih pendek dari sisi  luarnya.

Doran pacul terbuat dari batang kelapa tua berwarna hitam, tampak masih kuat dan liat. Mengkilat, karena hampir setiap hari di genggam oleh tangan trampil selama puluhan tahun. Batangnya ramping, tidak seperti doran jaman sekarang yang besar terbuat dari kayu mahoni atau kayu nangka yang berat.

Ketika saya tanyakan,
"Kok nggak diganti mbah, sudag gripis gini?",
dia tidak menjawab, tapi sambil tersenyum ditunjuknya cap pembuatnya di pangkal cangkul. Saya perhatikan ada lekuk tulisan pabriknya, mungkin saat ini sudah tidak lagi berproduksi diserbu cangkul import dari China. Pak

Nampaknya semua cangkul hampir sama, padahal setiap daerah memiliki perbedaan. Terutama bila kita melihat kemiringan dari cangkul-cangkul yang dipakai oleh petani di wilayah itu. Cangkul yang masih hampir siku, menandakan ketebalan tanah yang lebih dalam yang diolah oleh cangkul itu. Lapisan tanah subur di daerah itu pasti lebih tebal. Sedangkan cangkul yang kemiringan dengan tangkai dorannya lebih kecil, menandakan bahwa lapisan tanah subur yang di olah tidak seberapa dalam lagi. Nah, tentu kita lebih senang memiliki tanah yang lebih subur.

Berapalah harga sebatang cangkul, toch pak Tani Tua ini enggan menggantinya. Ia begitu bangga dan sayang dengan cangkulnya, seperti pemburu yang sangat menyayangi bedilnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar