Sabtu, 31 Mei 2014

Buah Ceri

Lalu-lintas Jogja Magelang makin hari makin padat. Berulang kali jalan ini dilebarkan dan dipasang tanggul pemisah untuk mengurangi banyaknya kecelakaan yang makin meningkat sebagai imbas lalu lintas yang makin padat dan makin cepat.

DI sekitar kilometer lima belas, tepatnya setelah pabrik Garment, sebelah kiri jalan, dari arah Jogja, ada sebuah rest area yang sederhana namun tidak terlampau kecil. Satu dua Bus atau beberapa mobil bisa parkir dengan leluasa di lapangan tanah itu. Biasanya penumpang yang menuju Magelang, Semarang atau bahkan Jakarta, turun dari mobil untuk berbelanja Salak Pondoh yang dijajakan di sana.

 Para pedagang Salak Pondoh tersebut menempati beberapa bedeng dibawah naungan pohon-pohon Ceri atau Kersen yang rindang. Dibawah sinar matahari siang yang terkadang menyengat, tentu saja keteduhan dibawah pohon Ceri memberikan kenyamanan tersendiri bagi para pembeli Salak Pondoh tersebut.

Sesekali saya melewati tempat itu saat jalan pagi. Biasanya, para pedagang masih belum buka dasar, bedeng-bedeng masih pada kosong. Buah-buah Ceri yang merah ranum selalu menarik perhatian saya. Kadang-kadang buah itu cukup rendah untuk digayuh dan di petik. Bila saya sedang beruntung, kadang-kadang saya dapatkan satu dua buah yang merah, rasanya sangat manis. Kadang-kadang saya harus cukup puas dengan buah yang masih berwarna kecoklatan karena belum matang benar.

Kemarin pagi, saya melihat seorang Bapak tua yang naik diatas dahan pohon Ceri sambil membawa golok. Pak tua ini seolah dikirimkan Tuhan kepada saya untuk memangkas dahan-dahan pohon Ceri yang terlalu tinggi yang hampir menyentuh kabel listrik di bawahnya.


Dan diantara dahan dan dahan pohon Ceri yang berserakan di tanah, saya mendapatkan banyak sekali buah Ceri masak, baik yang masih melekat di ranting maupun yang sudah berjatuhan di tanah. Belum pernah seumur hidup saya makan buah Ceri sebanyak pagi itu. Betul-betul saya puas dan kenyang. Terima kasih ya Allah, Kau kirimkan sarapan pagi yang sehat dan sangat lezat. Alhamdulillah.

Jumat, 09 Mei 2014

Suroso

Entah berapa usia Suroso, tentu lebih dari delapan puluh tahun. Badannya tidak lagi sekuat masa muda yang trampil memanjat kelapa atau membantu tetangga bekerja di sawah. Setelah badannya tua dan ringkih, ia hanya membantu membelah kayu bakar, itupun ia lakukan sambil duduk.

Suroso dilahirkan tidak sempurna. Kecerdasannya tidak berkembang. Namun kekuatan ketrampilan fisiknya mengimbangi kekurangan mentalnya. Suroso tidak gila, namun IQ nya yang kurang normal. Ia baik dan menerima berapapun upah atas tenaganya. Ia hanya mengangkat kayu menakut-nakuti anak-anak kecil yang melemparinya batu.

Suroso pendiam. Tidak banyak bicara, saya malah belum pernah mendengar ia berbicara. Kandang, ia hanya berdiri saja di halaman rumah orang dengan pandangan yang kosong. Orangpun tahu dia lapar, orang pun memberi makan atau uang. Dan ia berbisik, matur nuwun dan pergi tanpa bicara.

Suroso mengenal uang hanya dari warnanya, hijau, merah, biru, namun ia tidak mengenal angka nominalnya. Ia hanya tahu bahwa kertas ini bisa ditukarkan makanan ke warung. Pikirannya tidak sampai kesana. Pemilik warunglah yang memberikan kembalian untuk penganan yang di tunjuknya.

Kadang-kadang saya melihat dia ikut sholat berjama’ah di mushola, sekalipun sholatnya tidak sempurna. Sering kali ia mendahului imam rukuk atau sujud. Tapi semua maklum, ya memang begitulah Suroso.

Suroso dulu bersaudara empat orang, tapi dua orang saudaranya sudah lama meninggal karena kecelakaan. Satu-satunya saudaranya tinggal di dusun tetangga, tapi hidup jauh dari cukup, Suroso bahkan yang sering memberinya uang.

Pak Sosial, yang juga Tanwir mushola berbaik hati menampung Suroso. Disediakannya sebuah kamar untuk tinggal Suroso dan itu sudah berjalan lebih sekitar lima puluh tahun. Untung ada pak Sosial, begitu orang kampung memanggilnya, kalau tidak Suroso tentu jadi gelandangan.

Sejak Jum’at yang lalu, Suroso tidak keluar seperti biasanya. Ia hanya terbaring saja di kamar. Sakit. Pak Sosial-lah yang mengurusnya semua keperluannya. Tubuhnya yang tua ringkih, sudah tidak mampu lagi menahan rohnya dan hari Minggu sore, Suroso meninggal….

Suroso diciptakan Allah tentu untuk suatu maksud. Allah pula-lah yang memanggilnya pulang. Tugas Suroso di dunia sudah selesai. Tentu Allah menciptakan Suroso bukan sekedar pemanjat kelapa atau buruh upah mencangkul sawah. Mungkin Suroso mengajari kita untuk bersyukur, sekalipun mungkin banyak kekurangan, tapi kita lebih beruntung dari Suroso. Kita masih memiliki kerabat, anak atau cucu. Suroso tidak.

Suroso warga kecil yang tersisihkan, tapi saat meninggal ia melebihi pejabat. Sejak malam, orang melayat berduyun-duyun. Halaman depan rumah pak Sosial sudah berdiri tenda yang lebar dengan ratusan kursi plastic. Tetangga-tetangga seakan berlomba menyumbang uang, beras bahkan ayam. Ibu-ibu dengan membawa pisau ikut “rewang” memasak di dapur bu Sosial.

Senin pagi jam 10:00 Suroso di makamkan di makam dusun, dengan iringan penduduk yang panjang. Sorenya, kami, seluruh penduduk kampung menerima kiriman berkat berisi nasi, ayam, sambel goreng kentang, kerupuk udang dan lauk lainnya. Sorenya masih ada lagi kiriman mentahan, beras, gula, bihun kering dan lainnya.

Sekali lagi, Suroso mengajarkan kepada saya, bahwa sekalipun orang kecil, dhuafa, Suroso meninggal dengan “mewah”. Semoga Allah mengampuni dosa Suroso, kalaupun ada, menerima semua amalnya yang berlimpah, melapangkan kuburnya,menjauhkan siksa kubur dan membuka pintu surga buat Suroso. Surga abadi, tempat yang sempurna, penghuninya kembali muda, ceria, cakap dan lengkap …


Plumbon Tempel, 5 Mei 2014.