Sabtu, 31 Agustus 2013

Pisang

“Bulik, ada pisang yang sudah suluh, dua pohon lho !”, seru tetangga saya yang anguk-anguk dari jendela kepada istri saya saat ia berdiri usai sholat Ashar. Ya, kebanyakan rumah-rumah di desa tidak berpagar, jadi gampang saja tetangga lewat dan tiba-tiba kepalanya nongol di jendela. Bikin kaget saja. Mereka biasa melintas kebun saya di belakang rumah, saat berjalan menuju mushola yang berlokasi di depan rumah saya.

Saya sangat senang menebang pisang. Ingat kebiasaan saya saat remaja di sebuah kota kecil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tanah disana berkapur tidak terlalu subur, namun buah pisangnya ranum, tandannya banyak dan pohonnya tinggi. Urusan menebang pohon pisang selalu dipercayakan kepada saya.

Menebang pisang ada tekniknya, terutama bila pohonnya besar dan tinggi. Selain golok, biasanya saya membawa cangkul. Semua pohon pisang yang berbuah lebat, selalu condong, sehingga bisa diperkirakan kemana robohnya. Kita harus melukai batang pisang pada tempat yang tepat, yakni pada posisi lebih dari separo panjang batang. Mengapa? Agar bila kemudian pisang roboh, buahnya yang sarat masih bisa tergantung, tidak hancur terjerembab ke tanah. Nah, alat untuk melukai batang yang paling tepat adalah cangkul, yang dengan dorannya yang panjang bisa meraih posisi yang kita inginkan.

Melukainya-pun harus tidak boleh terlalu dalam dan tidak pula terlalu dangkal. Harus pas. Bila kemudian batangnya di dorong-dorong atau daun keringnya ditarik kebawah, batang pisang akan tertekuk pelahan-lahan. Bila terlalu dalam, maka batang akan tertekuk terlalu cepat dan bisa menyambar muka kita. Sedangkan bila terlalu dangkal, batang susah tertekuk bahkan bisa roboh pada pangkal pohon, hancurlah pisang kita terbanting ke tanah.


Menebang yang baik adalah bila pokok pisang digoyang-goyang, batang pisang akan tertekuk pelahan dengan lembut, sehingga tangan kiri kita sempat meraihnya dengan aman, menyeret ke samping dan tangan kanan yang menggenggam golok dengan leluasa menebas batang tandannya. Sempurna. Alhamdulillah.

Jumat, 30 Agustus 2013

Jeruk Purut

Di halaman rumah saya tumbuh pohon jeruk purut yang sudah lumayan tua dan berbuah lebat. Kebetulan jenisnya jenis yang baik, air perasannya sangat banyak. Saya sering menggunakan air perasannya untuk menetralisir bau anyir dari ikan, baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Bila hanya untuk keperluan lotek atau sambal, airnya sangat berlebih dan sisa jeruk yang tidak terpakai, terpaksa saya buang.

Daun jeruk purut yang bertingkat dua ini pun banyak manfaatnya. Saya sering menggunakannya untuk menyedapkan adonan tepung. Daunnya diiris setipis mungkin dan di taburkan ke adonan tepung sebelum menggoreng tempe. Rasa goreng tempenya menjadi lebih sedap.

Suatu malam, istri saya hendak menyiapkan santap malam. Di desa memang malam sangat sepi dan jauh dari restoran maupun warung makan, jadi kita harus menyiapkan sendiri apa adanya. Untungnya di kulkas biasanya tersedia bumbu pecel dan persediaan sayuran. Kita patut bersyukur ada warisan resep pecel ciptaan nenek moyang kita. Makanan sehat dan paling mudah mempersiapkannya. Begitulah, setelah semua sayur selesai dikukus. Pelengkap krupuk sudah di goreng, tinggal membuat adonan bumbu pecel. Untuk mengencerkan bumbu pecel, kita biasa menggunakan bekas rebusan sayur, agar bau sayur tetap melekat ke sambalnya.


Nah, belum lengkap bumbu pecel bila belum dikucuri jeruk purut. Karena gelap, tidak mungkin saya memanjat dan memetik buahnya. Jalan yang paling mudah adalah menggoyang pohonnya, pelan-pelan saja agar tidak terlalu banyak jeruk yang jatuh, cukup satu atau dua saja. Alhamdulillah memang hanya satu jeruk tua yang jatuh. Sudah lebih dari cukup. 

Kamis, 29 Agustus 2013

Tempe Gembus

Kalau saya mengatakan bahwa hidup di desa adalah murah, mungkin orang sudah bosan mendengarnya. Tapi bila saya ceritakan kisah nyata yang saya alami bahwa dengan SERIBU RUPIAH, saya bisa mendapatkan TIGA PULUH potong tempe Gembus, sungguh keterlaluan murahnya. Ceritanya begini, suatu pagi, istri saya membeli tempe gembus di tukang sayur langganan yang mangkal di pinggiran dusun. Dengan seribu rupiah ia mendapat lima potong tempe gembus yang agak besar, sehingga harus di potong-potong menjadi potongan yang lebih kecil untuk dapat disajikan. Setiap potongan besar dibagi dua dan setiap bagian dibagi tiga, jadi setiap potongan besar menjadi enam potongan kecil. Ukuran potongan kecil ini kita-kira panjang 5 cm, lebar 3 cm dan tebal 1 cm. Alhasil dari seribu rupiah, total bisa dibuat 30 potongan tempe gembus.

Lain halnya dengan tempe biasa yang cukup keras, tempe gembus, seperti namanya sifatnya lembek, sekalipun lebih padat. Kita biasa melihat menggoreng tempe biasa yang di sayat-sayat melintang agar bumbu dapat merasuk. Hal yang sama tidak bisa dilakukan terhadap tempe gembus yang mudah hancur karena lembeknya itu. Istri saya kemudian menggunakan parut kelapa untuk membuat lubang-lubang kecil ke seluruh permukaan tempe gembus, dengan lubang-lubang itu, bumbu dapat leluasa meresap. Sungguh akal yang cerdik.


Bumbu goreng tempe gembus standard saja, terdiri dari bawang putih, garam dan agak berani dengan ketumbar, agar baunya lebih sedap. Bumbu-bumbu ini setelah di haluskan kemudian dilarutkan dengan air panas. Barulah tempe dicelupkan sampai tenggelam agar bumbu meresap. Untuk lebih melekat, potongan-potongan tempe gembus ini kemudian disimpan di dalam kulkas untuk beberapa lama. Istri saya kemudian menyiapkan adonan tepung terigu, yang juga dibumbui bawang putih dan garam. Nah, kini tempe siap di goreng sebagai kudapan malam. Rahasia untuk memakan tempe gembus lebih nikmat, sebelum digigit, pandanglah gorengan tempe ini di depan mata seraya membayangkan betapa murahnya makanan ini. Alhamdulillah.

Rabu, 28 Agustus 2013

Mangut

Suatu hari seorang sahabat menelepon saya, “Mas, saya nanti siang akan lewat daerahnya Mas. Saya akan langsung ke stasiun naik kereta jam 15:00. Saya sampai di sana kira-kira dhuhur Mas. Saya pengin makan enak. Tolong ya carikan restoran ya”.

Wah, paling tidak dua nikmat akan saya peroleh. Pertama bertemu sahabat lama dari kota besar dan kedua makan enak. Saya mulai pikir-pikir, makan apa ya? Banyak kemungkinan yang bisa saya pilih. Sate? Bakmi Djawa? Brongkos? Pecel? Jamur? Akhirnya saya tetapkan: Mangut !! Kebetulan saya tahu warung mangut yang agak masuk ke tengah-tengah desa. Mangut kuthuk disajikan dalam cobek tanah dengan tambahan wader goreng dan lalab sambel. Sebagai bonus kita mendapat satu cobek gudeg. Selesai makan, sahabat yang disertai istrinya tersebut mengangkat dua jempol saking enaknya, sambil mangut-mangut. Biasanya yang bisa di mangut-kan adalah ikan kali, yang sangat umum adalah lele. Namun kali ini sahabat tersebut saya ajak mencicipi mangut ikan gabus, atau mangut kuthuk istilah di daerah saya.

Sejak itu saya mencoba membuat mangut sendiri, berdasarkan resep yang saya browsing dari internet.  Kebetulan saya memiliki beberapa butir kelapa tua. Mudah kok cara memasaknya. Pilhlah ikan segar, saya malah mencoba ikan tongkol segar, yang di potong-potong kecil. Tongkol ini perlu dibumbui dahulu sebelum siap di goreng. Bumbunya adalah ketumbar, bawang putih, kunyit dan garam. Setelah dihaluskan, di larutkan dengan air panas dan dikucuri jeruk purut (sesungguhnya jeruk nipis, tapi halaman saya yang ada jeruk purut), ikan yang sudah di bumbui, didiamkan beberapa menit. Kalau masih sabar untuk sementara waktu bisa dimasukan lemari es. Ikan yang sudah siap berbumbu boleh di goreng sampai matang. Belajar dari istri saya, potongan ikan ini harus mencicipi dulu minyak panas, sebelum seluruhnya di cemplungkan ke minyak, dengan demikian sang ikan tidak melekat ke wajan.

Kuah mangut dimasak tersendiri dengan bumbu “standard”, yakni cabe rawit, bawang merah, bawang outih, kencur dan irisan kecil-kecil lengkuas muda. Setelah ditumbuk sedikit halus, barulah di goreng sebentar, bersama daun salam dan cabe rawit utuh tambahan selain yang sudah digerus. Kuah santan sudah boleh dituangkan dan menjelang kental benar tongkol gorengan boleh dicemplungkan. Soal rasa tentu relatif, namun setidaknya nostalgia saya terobati. Alhamdulillah.



Selasa, 27 Agustus 2013

Teknologi Masuk Desa

Sebutkan teknologi apa yang ada di kota, yang tidak masuk desa. Di dapur di desa bisa kita temui Rice-Cooker, Microwave, Pressed Cooker, Kulkas tiga pintu, semua dengan mudah bisa masuk desa. Kompor Gas dan mesin Cuci bukaan atas bukan lagi barang yang asing bagi mereka. Televisi parabola, yang menyajikan lebih dari 40 channel, termasuk Bloomberg, CNN atau HBO.

Orang desa malah lebih konsumtif dalam belanja peralatan pertukangan, bor listrik, mesin ampelas, pemotong keramik, gergaji listrik, mesin ketam. Toko-toko peralatan di desa saya temui sangat lengkap dalam spare parts mesin-mesin ini.

 Internet (sekalipun lebih lambat), dengan mudah menyusup ke kamar-kamar belajar anak desa. Banyak anak-anak muda yang menjadi member FB, BB, twitter dll. Dengan mudah saya melaporkan pandangan mata hidup di desa ke Blog saya dan Alhamdulillah dibaca banyak orang. Saya bersyukur, blog saya mengenai saham malah sudah puluhan ribu kali di hits, termasuk pembaca dari Luar Negeri. Sayapun dengan mudah menembus pasar modal, dari meja serba guna di rumah sederhana di desa. Alhamdulillah, tanpa kesulitan.

Jadi untuk kualitas hidup yang sama, kita tidak perlu tinggal di kota. Cukup tinggal di desa, dengan bonus yang luar biasa banyaknya: Alhamdulillah beaya hidup lebih murah. Alhamdulillah udara jauh lebih bersih. Alhamdulillah tidak kena jalan macet, berlubang atau banjir. Masih banyak lagi yang patut disyukuri.


Saya memang kehilangan gelimang Mall yang serba menakjubkan. Saya juga kehilangan window shopping di ACE Hardware yang saya sukai. Saya memang kehilangan Hoka-hoka Bento, langganan saya dari dulu. Saya memang kurang suka KFC, McD, CFC dll. Ya kehilangan semua itu, blessing bukan?

Senin, 26 Agustus 2013

Kreasi Desa

Memiliki kemampuan bertukang kayu (Carpenter) membuat hidup lebih nyaman. Banyak yang bisa dibuat dari bahan kayu. Orang desa patut bersyukur, kayu berlimpah dan banyak yang bisa gratis kita peroleh di sekitar kita.

Pada suatu pagi, saya jalan melewati pedagang kayu. Selain menjual kayu ia memberikan jasa layanan menggergaji kayu. Sisa-sisa penggergajian di tumpuk dipinggir jalan sebagai kayu bakar. Timbunan kayu bakar ini makin lama makin panjang, karena jarang orang yang memerlukan kayu bakar lagi. Sebagian malah sudah lapuk, tertimpa hujan dan panas.

Beberapa potong sisa batang pohon, menarik perhatian saya. Pasti potongan kayu ini bisa dibuat sesuatu yang bermanfaat. Tidak perlu berpikir lama, saya sudah menemukan ide. Untuk mewujudkan gagasan saya, saya masih memerlukan potongan kayu-kayu lain. Ada juga beberapa potong papan tebal pendek yang cacat, kemudian dua potong kayu kaso pinggiran yang harganya sangat murah.


Untuk mewujudkan ide saya, saya masih memerlukan membeli tiga potong profil kayu, berupa batang silinder panjang berdiameter 2 cm di kota. Profil ini setiap batang harganya Rp.16.000,- dan bisa dipotong menjadi dua. Profil ini menjadi bagian yang paling mahal dari proyek saya: Tempat Handuk yang elegan.

Minggu, 25 Agustus 2013

Ikan

Budi daya ikan nampaknya mudah dan menyenangkan, tapi ternyata mengerjakannya tidak semudah memandangnya. Kualitas air, tentu saja itu yang paling utama. Tidak sembarang air cocok untuk sembarang ikan. Kemudian, debit aliran air, juga sangat berpengaruh atas beberapa jenis ikan. Di desa saya, banyak sungai kecil yang airnya mengalir dengan teratur, sekalipun di musim kemarau tidak terlalu deras. Ikan emas yang membutuhkan air deras tidak terlalu cocok, sehingga saya jarang mendapatkannya. Yang banyak di pelihara di kolam-kolam di tepi sungai adalah ikan Nila atau ikan Gurame. Di desa lain, yang lebih tinggi, di lereng gunung, barulah penduduk memelihara ikan emas.

Selain di kolam-kolam besar diantara kebun dan sawah dipinggiran sungai, kolam ikan juga banyak sekali dijumpai di halaman rumah-rumah penduduk desa. Padahal rumah-rumah mereka jauh sekali dari sungai yang mengalir. Lho kok bisa? Air muncrat 24 jam sehari dari pipa-pipa yang dilubangi, mengalirkan oksigen yang cukup kepada Gurame-gurame atau Nila yang gemuk-gemuk. Ikan ini sehat dan gemuk karena makanannya terjamin setiap saat, baik daun-daun papaya, singkong atau keladi ataupun setidak-tidaknya sisa-sia meja makan.


Penjelasannya begini. PU di desa-desa sangat aktif membangun tandon-tandon air di banyak dusun. Tanki air raksasa yang berwarna biru menyolok terselip diantara rumah-rumah penduduk. Air dari mata air yang bersih dialirkan setiap saat ke tanki PU ini dan didistribusikan ke rumah-rumah disekitarnya. Penduduk berlangganan air dengan biaya yang  sangat murah. Sebuah fasilitas yang mewah yang  tidak kalah dengan di kota dan dengan biaya yang sangat terjangkau. Syukur, penduduk memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan air bersih.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Kunci

Bukan kunci pintu, bukan kunci pagar, bukan pula kunci jawaban soal. Maksud saya kunci adalah nama bumbu masak. Sebutan yang aneh, itu setidaknya bagi orang Jawa yang tahu, namun bahkan tidak setiap orang Jawa tahu bumbu yang jarang dipakai ini. Mungkin pembaca dari daerah lain memiliki nama lain, orang Thailand menyebutnya krachai , tapi bila diseput speciesnya Boesenbergia Rotunda, pasti tidak keliru lagi.

Bumbu ini sejenis umbi-umbian kecil yang diameternya kira-kira sama dengan diameter pensil, tapi panjangnya tidak lebih dari 5 cm. Warnanya coklat muda, umbinya putih basah. Baunya khas, namun tidak keras seperti lengkuas atau kencur.


Setahu saya masakan yang memakai kunci hanyalah sayur bayam bening. Sekalipun baunya tidak menyengat, namun rasa sayur bayam berbeda dengan kunci atau tanpa kunci. Aneh ya? Cara memasaknya, kunci di-keprek sedikit, namun jangan sampai hancur, dimasukan ke air mendidih bersama-sama dengan bumbu lain seperti bawang merah, daun salam, garam dan gula, sebelum daun bayamnya dimasukan. Boleh juga dimasukan irisan jagung muda, tapi harus diingat bahwa matangnya daun bayam jauh lebih cepat dari matangnya jagung, sehingga waktu antara penyemplungan kedua sayur itu harus cukup lama. Selamat mencoba.

Jumat, 23 Agustus 2013

Jagung

Untung ada jagung. Tanaman yang tahan kering ini menjadi andalan petani di musim kemarau, dimana air mulai berkurang. Padi dalam satu tahun, cukup ditanam dua kali saja. Sisa waktu sebelum kembali musim hujan, petani bisa menanam tanaman lain, tapi jagung menjadi pilihan utama. Jagung memang tanaman yang kecil resiko gagalnya. Saat menjelang panen, sengaja batang atas yang masih berdaun hijau dipotong guna makanan sapi sedang buah jagungnya di biarkan kering, kalau sudah tidak ada hujan, malah saat masih melekat, kulit buahnya (klobot) sengaja dikupas agar lebih kering lagi.

Sesungguhnya buah jagung bisa di santap segala usia. Jagung bayi boleh dimasak bersama-sama capjay. Jagung muda bisa juga di buat perkedel jagung, disajikan di restoran-restoran kelas atas. Jagung muda juga setidaknya bisa dipotong-potong dan dicemplungkan ke sayur bayam bening. Atau kalau di pegunungan,saat  udara dingin orang senang mengudap jagung rebus atau jagung bakar sebagai teman minum kopi panas. Konon jagung bakar yang dijual di jalan Dago Bandung bisa diolah dengan ramuan Empat Rasa. Weh lah ada-ada saja, wong jagung direbus thok saja sudah enak, kok di kasih ramuan cem-macem.

Tapi jagung yang paling safe ya dibiarkan sampai tua, di preteli dari bonggolnya dan di simpan bisa tahan lama. Kapan-kapan simpanan ini bisa di tumbuk dan dijadikan nasi jagung, sekedar selingan nasi, apalagi bila lauknya kepompong ulat daun Jati. Rasanya sih ‘not so bad’, ingat jaman susah di tahun 60-an.


Bila kepepet, jagung simpanan ini bisa juga dijual dan sangat likuid. Pemborong utama adalah pabrik makanan ternak yang setiap hari membutuhkan berkwintal jagung cacah, maklum ternak-ternak ini memang hidupnya memang untuk di potong. Makanya bila kita sedang menyantap ayam goreng KFC, jangan lupa berterima kasih, bersyukur ada pak Tani yang menanam jagung, untuk makanan ayam yang sedang anda nikmati.

Kamis, 22 Agustus 2013

Sapi dan Sawah

Sapi dan sawah bersahabat akrab di desa. Sapi banyak mendapatkan makanan dari sawah. Rumput gajah yang menyemak sengaja ditanam di pematang sawah, sementara sawah membutuhkan sapi untuk menarik bajak melumatkan tanahnya. Jerami padi menjadi tempat yang hangat di kandang, terkadang masih tersisa batang padi yang lunak yang bisa dikunyah oleh sapi, yang memang doyan mengunyah. Sementara kotoran sapi adalah makanan segar bagi sawah. Pupuk kandang adalah pupuk favorit bagi petani, menyehatkan tanah tanpa mengganggu lingkungan. Memang sapi dan sawah saling membutuhkan.

Traktor tangan memang mulai menjadi pemandangan yang biasa di sawah-sawah, namun bajak yang ditarik dua ekor sapi masih cukup banyak dijumpai di desa. Lebih lamban memang, namun tanah makin dalam di injak sapi dan diangkat keatas oleh bajak. Sapi-sapi ini dengan mantap melangkah kaki  terbenam ke dalam lumpur. Bagi sapi, tampaknya mereka melakukan dengan senang, dari pada hanya berdiam diri di dalam kandang. Rekreasi sambil melatih otot-ototnya.


Anehnya, setiap sapi membajak, selalu ada beberapa ekor burung kuntul (bangau) yang berterbangan mengikuti kemanapun langkah sapi membajak. Tanah lembut yang baru saja dibalik, menyediakan cacing atau hewan tanah yang melimpah, hewan kecil ini belum sempat lari bersembunyi, paruh bangau yang panjang dengan sigap telah melahapnya. Hup, cacing masuk ke tenggorokan burung dengan sekali telan. Bila nasib baik, bukan hanya cacing kecil, tapi se-ekor belut yang gemuk cukup untuk oleh-oleh anak-anak burung yang menunggu mama pulang kembali ke sarangnya.

Rabu, 21 Agustus 2013

Shalat Subuh

Shalat fardhu lebih utama dilakukan berjamaah di mesjid. Banyak tulisan para ulama yang mengulas tentang kebiasaan Rasulullah ini. Bulan masih bersinar terang di ufuk Barat, namun penduduk masih khusuk berdoa usai menjalankan shalat subuh berjamaah. Bersyukur, menikmati hari yang baru lagi. Bersyukur jantung masih berdegub mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Bersyukur dada masih mampu mengisap udara bersih di dini hari yang sejuk. Bersyukur, air masih mengalir membersihkan anggota badan, berkumur dan membasuh muka, dingin namun segar. Bersyukur kaki masih mampu melangkah, menuju mushola, melalui jalan tanah yang berpasir lembut. Bersyukur dahi masih mampu menyentuh sajadah berserah diri kepada Sang Pencipta. Terima kasih, Ya Rabb, hambamu masih Kau beri kesempatan untuk beribadah lagi, mengawali hari yang baru ini.


Mushola bertebaran di banyak tempat di desa, menunjukan kehidupan religinya yang kental. Adzan dikumandangkan lima waktu di mushola-mushola, mengundang para jemaahnya untuk memakmurkan mesjid. Lima waktu penduduk rajin membentuk shaf, mengikuti imam beribadah. Mushola memang menjadi bagian yang penting dalam kehidupan desa. Mushola menjadi tempat bersilaturahim diantara para tetangga. Mushola menjadi tempat anak-anak mulai berlajar mengenal tulisan Arab. Kehidupan desa mulai berdenyut dari mushola.

Merti Dusun

Umat yang pandai bersyukur, akan ditambah nikmatnya oleh Allah. Para petani setiap dusun mewujudkan rasa syukur ini dengan mengadakan Merti Dusun. Bersyukur, panenan baik. Bersyukur air tidak kering. Bersyukur tidak ada hama penyakit.

Biasanya Merti Dusun diadakan secara gotong royong, setiap dua tahun sekali. Para kepala keluarga iuran rame-rame. Acara pun berlangsung beberapa hari. Ada wayang kulit, band, jatilan, sampai gunungan yang terdiri dari berbagai tanaman dan buah yang di keroyok rame-rame dan macam-macam acara lain yang meriah. Penonton tumpah ruah, baik dari dusun sendiri maupun dusun sekitarnya.

Perawan desa yang biasanya malu-malu sembunyi di rumah, ada kesempatan untuk berdandan  keluar. Siapa tahu ketemu jodo dalam keramaian Merti Dusun. Para Jejaka kencur, mejeng sambil nglirik sana, nglirik sini, siapa tahu ada yang nyantol.


Bila sebuah desa terdiri dari berbagai dusun, maka penduduk-pun senang, karena bisa nonton terus ke dusun yang lain. Desa yang biasanya sepi trintim setiap malam, tiba-tiba ramai hingar binger. Para pedagang pun kebagian rejeki. Ronde, bakso atau jualan mainan anak-anak, laris manis. 

Senin, 19 Agustus 2013

Bersih kembali

Setelah subuh, menjelang terbit matahari, saat saya jalan-jalan pagi. Sering saya temui ibu-ibu menyapu halaman. Terkadang saya temui malah ibu-ibu yang sangat sepuh, terbungkuk-bungkuk menyapu halaman. Ini tanda bahwa memang kebiasaan orang desa sejak dulu yang suka kebersihan. Malu bila halamannya kotor.

Tapi pada pengujung bulan Ramadhan dan setelah lebaran, di mana-mana, di halaman, jalan, lapangan luar biasa kotornya. Sobekan bekas mercon bertaburan menyepetkan mata. Saya curiga sengaja bekas mercon ini sengaja tidak disapu, sebagai prestige. Saya menduga soal mercon ini ada gengsi, makin banyak membakar petasan makin naik pamor keluarga. Makin kaya. Mudah-mudahan dugaan saya tidak betul.

Tapi orang desa membakar petasan atau kembang api sama sekali tidak kalah dengan gaya orang kota. Saya sangat heran berapa saja uang yang dibakar untuk mercon dan kembang api. Apakah ini ulah keluarga mereka orang kota yang mudik ke desa? Wallahu Alam.

Tapi sepuluh hari setelah lebaran, saya lihat halaman sudah bersih kembali. Jalan-jalan menyenangkan, nyaman menikmati kebersihan jalan. Syukurlah.

Jamu


Saya tidak tahu namanya, tapi saya panggil Simbah saja. Saya bertemu Simbah saat lari pagi di lapangan desa. Lapangan ini milik desa, letaknya juga di belakang Kantor Desa. Lapangannya kurang terpelihara, memang mungkin tidak ada anggaran untuk pemeliharaan desa.

Rumput dan semak yang kadang-kadang tinggi, cukup diserahkan ke tukang ngarit, ya rajin menyabit rumput buat pakan ternaknya. Pernah saya melihat kawanan kambing dengan bebas berkeliaran makan rumput di lapangan ini. Kadang-kadang saya lihat beberapa ekor sapi sengaja di tambatkan disana dan dengan lahap menyantap rumput yang gratis. Tletong (kotoran) nya tentu saja bertebaran dimana-mana. Lapangan ini memang serba guna, bisa untuk main sepak bola, dipakai pelajaran olah raga oleh SD-SD dan SLB di sekitar desa dan tentu saja ideal untuk menjemur hasil panen, padi, tembakau, belajar motor  atau apa saja.

Kembali ke Simbah, yang dengan rajin menjemur daun bahan jamu. Setiap saat dibalik-baliknya dedaunan itu agar keringnya merata. Daun ini tumbuh merapat ketanah dan sengaja ditanam di halaman rumahnya yang tidak lebar. Ia panen setiap minggu dan biasa menggunakan lapangan ini untuk menjemur bahan jamunya. Simbah sudah melakukannya bertahun-tahun. Sebuah toko obat di pasar Kecamatan, siap menampung hasil panen SImbah, biasanya ia membawa pulang uang sekitar Rp.35.000,- setiap hasil panenan.

Ya lumayan yam Bah, selain sehat, mbah masih punya kesibukan yang menghasilkan. Mudah-mudahan, walaupun hasilnya tidak banyak tapi barokah. Semoga banyak orang sakit yang tersembuhkan ya mBah.



Minggu, 18 Agustus 2013

Sepeda

Di kota memang banyak sekali sepeda, apalagi di hari Minggu. Sepeda di kota umumnya adalah alat olah raga dan rekreasi. Anak-anak kota pun memiliki sepeda sebagai permainan. Lain halnya di desa. Sepeda menjadi alat transport utama. Sepeda bertebaran di pinggir sawah atau kebun, menunggui pemiliknya selesai bekerja. Sepeda-sepeda kuno juga tidak sedikit, kebanyakan peninggalan orang tua atau kakek neneknya.

Sepeda juga menjadi alat transport utama anak sekolah. Pagi hari jalan-jalan di desa sibuk berlalu lalang anak sekolah bersepeda. Jarak sekolah dengan rumah terkadang tidak dekat dan harus melalui ladang dan sawah yang cukup luas. Kendaraan umum tidak ada. Ojeg pun tidak ada. Pilihannya hanya berjalan kaki atau bersepeda. Sepeda menjadi andalan transportasi mereka yang utama. Tempat parkir sepeda di sekolah-sekolah penuh sesak dengan sepeda para siswa.

Karena sepeda masih banyak, maka bengkel sepeda juga masih diperlukan. Sepeda memerlukan perawatan atau reparasi manakala terjadi kerusakan. Spare parts sepeda juga cukup laris. Jasa terlaris adalah ban sepeda, tambal ban adalah pekerjaan sehari-hari sebuah bengkel sepeda. Ban sepeda juga menjadi dagangan yang paling banyak di butuhkan. Di sebuah kota kecamatan, saya masih menemukan sebuah toko sepeda yang memiliki belasan sepeda kuno, belum dikenal oleh para pemburu barang antik.


Penduduk desa layak bersyukur, badannya sehat karena banyak menggenjot pedal sepeda dan udaranyapun belum banyak disemprot knalpot kendaraan bermotor.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Tebu

Kadang-kadang kita temukan ladang tebu di sela-sela tanaman semusim di desa. Petani tidak mengkonsumsi tebu. Tebu adalah tanaman untuk pabrik gula. Biasanya tanah tempat kebun tebu tumbuh statusnya kontrak lahan untuk jangka waktu yang lama.

Pemilik tanah mengontrakan tanahnya dengan berbagai alasan. Misalnya, karena sudah tidak mampu lagi mengolah sawah, putra-putranya tidak tinggal di desa lagi. Bisa juga alasan karena butuh dana besar, padahal hati masih merasa sayang bila dijual. Makin luas kebun tebu di desa, merupakan tanda bahwa makin banyak tanah yang dikontrakan.


Tapi tebu-pun sangat penting bagi masyarakat banyak. Bagaimana dunia ini bila tidak ada gula? Lidah kita jarang mencicipi rasa manis, padahal rasa manis adalah salah satu hal yang menyenangkan, hadiah  yang diciptakan Tuhan. Bersyukurlah bagi anda yang sehat, yang masih boleh merasakan manis. Namun, janganlah minum minuman manis berlebihan, penyakit gula muncul dan nikmat anda akan segera dicabut.

Kamis, 15 Agustus 2013

Menggiling Padi

Pada musim panen seperti saat ini, jasa penggilingan padi laris manis. Mereka menjemput bola keliling desa. Jalan-jalan desa yang mulus, memungkinkan mereka dengan mudah datang ke halaman petani yang membutuhkan dan menggiling bulir padi menjadi beras, termasuk memutihkan (menyosoh) beras sehingga tampak lebih putih dan menggiurkan. Saat beroperasi, suaranya yang khas, terus menerus tidak terputus, bagi pemilik padi tentu suara yang paling merdu yang selalu ingin mereka dengarkan. Debu? Jangan kuatir, debu sangat dimimalkan dengan memasang kantong karung plastic, di mulut pembuangan.

Orang desa yang kreatif, kadang-kadang mampu memodifikasi mesin penggiling padi ini bisa dipakai juga untuk menggerakan roda kendaraan yang membawanya sehingga bisa memangkas biaya pembelian kendaraan. Kendaraan yang sederhana mereka rakit sendiri, ala kadarnya yang penting ada kemudi, rem dan gas. Kendaraan semacam ini tentu tidak memerlukan plat nomor, STNK maupun kir, memang hanya mutar muter di dalam desa saja.


Biaya menggiling padi ini bisa gratis. Lha kok bisa? Ya, asalkan limbah bekatul yang sangat berharga boleh mereka bawa pulang, bekatul. Bekatul adalah bulir sisa penggilingan beras yang memiliki gizi dan serat yang sangat tinggi dan bernilai jual yang tinggi. Bukan saja sapi, kita pun Insya Allah akan selalu sehat bila rajin mengkonsumsi bekatul. Cobalah.

Salak

Andaikata salak itu ciptaan manusia, maka buah salak itu sebuah Master-piece. Sebuah Maha Karya. Namun, salak adalah ciptaan Tuhan. Tuhan Maha Wasis, Dia tentu menciptakan segala jenis buah-buahan dengan mengemban maksud. Tuhan-pun menciptakan salak ada yang masam, sepat dan tentu saja manis, seperti  Salak Pondoh.

Untuk mendapatkan buah yang putih bersih, dengan rasa yang lezat serta texture buah pas, tidak lembek, tidak keras, tidak kesat namun juga tidak basah, ternyata tidak mudah. Buahnya dilindungi kulit yang kasar, pohonnya pun memiliki sistem pelindung yang hebat, yaitu duri-duri yang tajam dan besar. Untuk berbuah, salak pun memerlukan turut campur tangan trampil petani.

Bersyukur, pernah diciptakan buah salak. Selain rasanya lezat, kering, tangan kita tidak perlu kotor dan berlepot cairan untuk mengupasnya. Salak nyaris buah yang ideal, kalaupun ada kelemahan salak adalah buahnya yang mudah busuk, tidak tahan lama. Tapi inipun patut disyukuri, andaikata salak awet disimpan, tentu petani tidak perlu menanam pohon salak sebanyak sekarang ini. Buah yang mudah busuk ini, justru mendatangkan rezeki yang terus menerus, karena orang tidak bosan-bosannya mengudap salak.

Kadang-kadang saya berpikir, salak pun bisa menjadi alat pertahanan alami yang ampuh. Mana ada tentara pasukan musuh yang berani terjun diatas kebun salak….


Rabu, 14 Agustus 2013

Dilema Tembakau

Tembakau adalah emas hijau. Tanaman ini bernilai jual tinggi, sekalipun ada resiko gagal panen, manakala hujan turun membasahi daun yang siap panen.  Konon ada belasan juta orang stake-holders dari tembakau ini dan periuk nasi mereka tergantung kepada daun-daun hijau yang lebar dan segar ini.
Dari industri rokok saja, cukai rokok menyumbang lebih dari 100 trilyun rupiah ke APBN. Belum lagi penghasilan para karyawan pabrik rokok, petani tembakau dan petani cengkeh. Suatu jumlah yang luar biasa besarnya. Sebaliknya tidak ada catatan berapa obat, ongkos operasi paru-paru, kemoterapi yang dibelanjakan untuk mengobati sakit akibat merokok.

Kita harus menghormati hak para perokok, mereka dengan sadar telah mengambil resiko penyakit akibat merokok. Namun sebaliknya, para perokok juga harus menghormati hak yang tidak merokok. Perokok pasif, ternyata lebih rentan terserang penyakit paru-paru dari pada perokok itu sendiri.


Bersyukurlah kalau kita bukan pecandu rokok. Kita memiliki dua tugas utama, pertama jangan sampai kita tergelincir menjadi perokok, karena banyak hati kecil para perokok yang sesungguhnya ingin berhenti merokok. Tugas kedua adalah menjaga anak-anak, remaja agar tidak ikut-ikutan merokok. Saya tahu, tugas kedua ini tidaklah ringan, namun kita tidak boleh menghindar..

Selasa, 13 Agustus 2013

Siklus Alami

Awal musim kemarau, adalah masa yang paling di tunggu oleh para petani buah. Udara yang kering dan hangat merangsang tanaman untuk berbunga dan mempersiapkan buah. Sudah menjadi hukum alam bahwa zat yang ber-generatif, berkembang biak, memiliki tugas untuk mempersiapkan keturunannya. Pada makhluk manusia dan hewan, Tuhan menciptakan perasaan birahi yang mengundang kedua pasangan untuk melanjutkan salah satu tugasnya, ber-anak dan berkembang biak. Bagi manusia, Tuhan bahkan memasukannya menjadi salah satu bentuk ibadah.

Birahi pada tumbuhan dinyatakan dengan munculnya bunga-bunga yang indah harum dan berwarna-warni. Tuhan menugaskan lebah atau serangga lainnya untuk menaburkan serbuk sari keatas putik yang sudah matang dan siap menciptakan bakal buah yang kelak akan menjadi ranum dan biji yang dikandungnya akan melanjutkan speciesnya di tanah, bumi , planet tercinta ini.


Bersyukur bahwa para petani memiliki ilmu
 pengetahuan mengenai siklus alami ini. Kitalah yang beruntung dapat menikmati buah-buah yang segar, lezat dan bermanfaat bagi tubuh kita sendiri. Maha Besar zat yang menciptakan keajaiban ini.

Pemandangan

Mungkin jarang orang desa yang sadar bahwa mereka sehari-hari menikmati barang mahal yang gratis, yakni pemandangan. Pemandangan bagi bagi orang kota adalah hal yang mahal. Mereka harus meluangkan waktu untuk cuti dari kantor dan merogoh kantong ratusan ribu bahkan jutaan rupiah untuk memperoleh pemandangan yang indah.

Di negeri lain, hamparan sawah menghijau, air sungai yang gemericik mengalir, serta langkah kaki sapi yang menarik bajak
kedalam lumpur menjadi komoditas pariwisata yang laris. Turis asing bebondong-bondong datang ke desa, hidup bersama petani, menanam padi, membajak sawah atau memandikan kerbau disungai. Suatu pengalaman yang mungkin tidak pernah mereka bayangkan dalam kehidupan kota yang super sibuk.


Gunung berapi, misalnya. Ternyata mampu menarik wisatawan untuk menengok sisa-sisa letusan, mengambil bahaya untuk mendaki dan memotret kawahnya. Padahal saya setiap hari bisa menikmati  dan bersyukur dapat melihat bentuknya yang berubah-ubah tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Gratis tentunya.