Jumat, 28 Februari 2014

Longkangan

Rumah yang saya tempati di desa, berudara segar. Udara mengalir dari kebun yang lumayan luas di bagian belakang dan dari ke-tiga sisi yang lain yang tidak rapat dengan rumah tetangga. Lebih segar lagi, karena di bagian tengah ada longkangan (ruang terbuka) yang beratapkan langit. Pada longkangan tersebut, ada kolam ikan yang saya pelihara beberapa ekor ikan hias. Tumbuh pula sebatang pohon jeruk purut yang berbuah lebat dan tidak kenal musim.

Banyak kegiatan sehari-hari yang dilakukan di sekitar longkangan tersebut, selain makan di meja makan yang diletakan di dekat longkangan, juga setrika, masak dan berjemur. Pintu kamar mandi juga langsung berhadapan dengan longkangan, sehingga saya tempatkan sebuah tempat handuk untuk menjemur handuk yang basah di pinggir longkangan tersebut.

Tempat itu juga menjadi salah satu tempat favorit bila hujan tiba. Saya senang menikmati curahan hujan  di longkangan. Air mengucur deras dari ke-empat sisi longkangan. Longkangan itu menampung empat sisi genting dan talang yang sengaja di kucurkan ke dalam longkangan itu. Permukaan longkangan kami tutup dengan pecahan batu-batu gunung, sehingga air leluasa tersalurkan dan meresap ke dalam tanah. Nah, betapa beruntungnya kami dengan keberadaan longkangan itu. Longkangan itu menjadi salah satu kekayaan kami, karena tidak setiap rumah memilikinya.

Namun, longkangan itu juga ternyata menjadi salah satu sumber kesulitan kami pada saat dan setelah hujan abu Gunung Kelud beberapa waktu yang lalu. Dari langit abu langsung menyebar kemana-mana lewat longkangan tersebut. Dapur, meja makan, gudang bahkan kedalam rumah, tanpa dapat dicegah lagi. Usaha membersihkan debu di rumah kami, tentu saja menjadi lebih sulit dan perlu kerja lebih keras.

Bencana tidak cukup sampai disitu, saat hujan yang di tunggu-tunggu turun, ternyata longkangan juga membawa kerumitan tersendiri. Lumpur dari atap seolah di guyurkan dari genting ke dalam longkangan. Akibatnya longkangan tertutup lapisan lumpur yang tebal dan padat. Lapisan abu ini menghalangi jalannya resapan air ke tanah, sehingga air meluap dan banjir. Setiap hujan turun, banjir dan kami sibuk bersih-bersih. Masih beruntung air tidak masuk kedalam rumah yang terhalang oleh kontruksi pintu rumah kuno yang memiliki kusen di dasar pintu.

Tidak ada jalan lain, terpaksa longkangan dibongkar, batu-batu di keluarkan dan lapisan abu harus di keruk dan di buang ke kebun. Setiap butir debu yang melekat pada batu harus di bersihkan kembali dan satu-persatu batu disikat. Iseng-iseng saya hitung, jumlah batu yang kami sikat ada …… 1770.... luh ....



Sabtu, 22 Februari 2014

Alunan Musik Klasik di Sawah

Jalan Wates, Tempel Sleman adalah jalan propinsi yang terluar di wilayah Propinsi Jogjakarta. Rumah-rumah masih jarang. Sepanjang jalan sekitar 30 km, pemandangannya adalah hamparan sawah, kebun, sungai atau hutan jati. Tapi siapa sangka ada tempat kursus musik.

Pak M, adalah guru musik di SMP Negeri Sleman. Jari-jari tangannya baik kanan dan kiri, lincah mengetuk tuts piano. Bakat musiknya rupanya menurun ke putri sulungnya yang masih di bangku SMP, yang telah menyabet berbagai penghargaan atas permainan pianonya. Sama sekali tidak menyangka, dentingan lagu-lagu klasik muncul dari jari-jari tangan mungil gadis desa.

Rumah kecilnya yang sederhana terletak di jalan Wates yang sepi dengan bentangan sawah yang menghijau di sekitarnya, jauh di sebelah utara tampak sosok gunung Merapi yang nampak jelas tanpa penghalang. Disanalah, di saat senggang pak M membuka kursus gitar atau piano.  Aneh juga mendengar dentingan piano klasik di antara hamparan sawah. Berapa tariff kursusnya? Wah, jangan dibandingkan dengan ongkos sekolah musik Purwacaraka atau Achmad Danny.


Selain, mahir memainkan piano, pak M juga sangat piawai memetik gitar. Di tangannya gitar klasik, menjadi hidup ramai dengan dentingan merdu membuai telinga pendengarnya…..

Jumat, 14 Februari 2014

Desa Bangkit

Masih hari yang sama, Jum’at, 14 Pebruari 2014, saat sholat Jum’at, hujan abu sudah reda. Jama’ah ibadah Jum’at mbludag, karena karyawan maupun murid sekolah pada libur. Khotibpun memberikan khotbah dengan tema yang actual, cobaan Allah. Kita harus bersabar, nasehatnya.

Begitu usai sholat Ashar, tanpa ada komando, jalanan yang semula lengang, mendadak ramai. Penduduk turun ke jalan. Pompa air dan selang yang fungsinya untuk mengairi kebun salak berubah berfungsi untuk menggontor jalan. Jalan-jalan kembali bersih. Kegiatan kerja bakti ini seakan lomba antar RT, antar dukuh, masing-masing berusaha membersihkan jalan masing-masing sebersih-bersihnya. Anak muda, orang tua, tentara polisi, karyawan semua berbasah-basah sambil membawa sapu lidi, sekop atau karet pendorong lumpur. Beruntung sungai-sungai di desa saat ini airnya cukup banyak, sehingga tidak kekurangan air.



Ibu-ibu sibuk membersihkan teras dan halaman rumah masing-masing. Terkadang mereka membuat galengan kecil di jalan di muka rumah agar sebagian air yang di semprotkan di jalan masuk ke halaman. Mushola-mushola di bersihkan halaman dan terasnya. Bahkan ada pula yang mengepel bagian dalam mushola, sehingga sebelum Magrib, semua sudah bersih kembali.

Hujan Abu

Sudah lama sekali saya tidak mengalami hujan abu. Terakhir saya “menikmati” hujan abu dari Gunung Galunggung di Bandung. Tapi, bagi warga desa saya, di kaki gunung Merapi, hujan abu adalah hal yang tidak asing, sekalipun hujan abu kali ini, Jum’at tanggal 14 Pebruari 2014 dari Gunung Kelud, terbilang cukup besar.

Saya sadari hujan abu ini saat saya selesai sholat subuh, turun dari Mushola. Kok pemandangan di halaman memutih, tidak seperti biasanya. Ketika saya memandang ke langit, dengan bantuan sinar lampu neon mushola, kepyur…. saya melihat butiran-butiran debu halus, mata saya langsung klilipen (kemasukan debu).

Segera saya membangunkan istri dan anak-anak saya. Nah, mulai-lah kesibukan prosesi menyambut hujan abu dimulai. Pertama tentu saja, saya harus membersihkan mata saya. Saya dilarang keras mengucek-kucek mata, karena butiran debu volcanic mengandung silikat yang tajam dan bisa melukai lensa mata. Saya di minta membasuh mata dalam genangan air di telapak tangan. Kemudian saya harus mengamankan mobil saya dari goresan debu. Bagian yang tidak tertutup atap, harus saya bungkus plastik, seadanya. Jendela dan pintu harus tetap tertutup rapat. Pompa air dihidupkan agar tanki air selalu terjaga penuh.

Suasana yang sepi dan aneh. Jalan-jalan lengang dan putih. Genting dan dedaunan berwarna putih. Pelepah pisang pada patah. Kebun cabe, semaian sayuran, pelepah pohon salak menunduk keberatan menahan beban debu. Pohon-pohon rambutan yang saat itu sedang lebat-lebatnya berbuah, tidak tampak cantik ranum seperti biasanya, putih. Suasana sepi mencekam. Saya membayangkan mungkin bila manusia mendarat di salah satu planet diluar bumi, beginilah pemandangannya. Anak-anak sekolah di beritahu lewat sms yang berantai untuk tidak perlu datang ke sekolah, alias libur. Mereka tidak tampak senang karena libur, karena toch tidak bisa berbuat apa-apa di rumah.


Semua putih, sampai kolam ikan pun airnya keruh. Ikan-ikan megap-megap di permukaan kebingungan menghirup udara yang tidak segar. Beruntung, listrik tidak padam, sehingga penghuni rumah merubung televisi, yang ternyata sejak tengah malam telah memberitakan musibah ini.