Rumah yang saya tempati di desa, berudara segar. Udara
mengalir dari kebun yang lumayan luas di bagian belakang dan dari ke-tiga sisi
yang lain yang tidak rapat dengan rumah tetangga. Lebih segar lagi, karena di
bagian tengah ada longkangan (ruang terbuka) yang beratapkan langit. Pada longkangan
tersebut, ada kolam ikan yang saya pelihara beberapa ekor ikan hias. Tumbuh
pula sebatang pohon jeruk purut yang berbuah lebat dan tidak kenal musim.
Banyak kegiatan sehari-hari yang dilakukan di sekitar longkangan
tersebut, selain makan di meja makan yang diletakan di dekat longkangan, juga
setrika, masak dan berjemur. Pintu kamar mandi juga langsung berhadapan dengan
longkangan, sehingga saya tempatkan sebuah tempat handuk untuk menjemur handuk
yang basah di pinggir longkangan tersebut.
Tempat itu juga menjadi salah satu tempat favorit bila
hujan tiba. Saya senang menikmati curahan hujan
di longkangan. Air mengucur deras dari ke-empat sisi longkangan. Longkangan
itu menampung empat sisi genting dan talang yang sengaja di kucurkan ke dalam
longkangan itu. Permukaan longkangan kami tutup dengan pecahan batu-batu
gunung, sehingga air leluasa tersalurkan dan meresap ke dalam tanah. Nah, betapa
beruntungnya kami dengan keberadaan longkangan itu. Longkangan itu menjadi
salah satu kekayaan kami, karena tidak setiap rumah memilikinya.
Namun, longkangan itu juga ternyata menjadi salah satu
sumber kesulitan kami pada saat dan setelah hujan abu Gunung Kelud beberapa
waktu yang lalu. Dari langit abu langsung menyebar kemana-mana lewat longkangan
tersebut. Dapur, meja makan, gudang bahkan kedalam rumah, tanpa dapat dicegah
lagi. Usaha membersihkan debu di rumah kami, tentu saja menjadi lebih sulit dan
perlu kerja lebih keras.
Bencana tidak cukup sampai disitu, saat hujan yang di
tunggu-tunggu turun, ternyata longkangan juga membawa kerumitan tersendiri. Lumpur
dari atap seolah di guyurkan dari genting ke dalam longkangan. Akibatnya longkangan
tertutup lapisan lumpur yang tebal dan padat. Lapisan abu ini menghalangi
jalannya resapan air ke tanah, sehingga air meluap dan banjir. Setiap hujan
turun, banjir dan kami sibuk bersih-bersih. Masih beruntung air tidak masuk
kedalam rumah yang terhalang oleh kontruksi pintu rumah kuno yang memiliki
kusen di dasar pintu.
Tidak ada jalan lain, terpaksa longkangan dibongkar,
batu-batu di keluarkan dan lapisan abu harus di keruk dan di buang ke kebun.
Setiap butir debu yang melekat pada batu harus di bersihkan kembali dan
satu-persatu batu disikat. Iseng-iseng saya hitung, jumlah batu yang kami sikat
ada …… 1770.... luh ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar