Jumat, 14 Juni 2013

Angguk dan Sapa

Perbedaan yang menyolok antara kehidupan desa dan kota adalah keramahan penduduknya. Berjalan di desa mengangguk menjadi sebuah prosesi yang wajib. Kepada siapapun, kenal atau tidak kenal, petani yang berjalan ke sawah, ibu-ibu yang sedang menyapu di halaman, bapak-bapak yang merokok di teras, kepada pengemudi sepeda-motor yang melintas. Bahkan saya pernah disapa murid-murid sekolah yang menyalip dari belakang.

Tidak jarang, setelah mengangguk, dilanjutkan dengan sapa, "Tindak pundi?", mau kemana?
Sapaan itu adalah sapaan pembuka. Bila kita tetap melayani keramahan mereka, bisa dipastikan akan terjadi pembicaan lanjutan yang bisa berlangsung beberapa waktu.

- "Pergi kemana mBah?"
+ "Ngarit, mas"
- "Lembunya berapa mBah?"
+ "Dua, mas... dst."

Dunia seakan berputar lebih lambat di desa. Semua tidak perlu tergesa-gesa, masih sempat berhenti sejenak dan bertutur kata. Mereka tentu menanyakan di mana rumahnya dan karena mereka hapal seluruh penghuni desa, maka pertanyaan akan terus mendetail. Sebelah mana? Dengan rumah pak Polan? Bukan keinginan tahun yang meluap, namun merasa bersalah kalau mereka tidak mengenal sesama penduduk desa.

Tidak sulit mencari teman di desa ..



1 komentar:

  1. Jadi membayangkan Semut.
    Selalu bertegur sapa di setiap saat pertemuan.
    Padahal semut ketemu sesama semut dalam sehari bisa ketemu berkali-kali.
    Dan tetap selalu bertegur sapa..
    Sambil tetap bekerja dengan saling bekerja sama..
    Bukan sekedar sama-sama bekerja..

    BalasHapus